Mengucap kata Jurnalistik, atau Jurnalisme, yang otomatis terbersit di benak kita: aktivitas bermedia yang independen. Orientasinya obyektif. Penyikapannya berimbang. Prinsip yang teguh tak berpihak. Prinsip jurnalisme ini, laiknya mitos, usianya telah berabad-abad. Bersikap mengkritisi, apalagi sampai melanggar atau mengubah kesakralannya, berisiko kualat. Sanksinya seperti menanggung dosa tak berampun. Dianggap menggadaikan harga diri. Bahkan melacurkan kehormatan profesi.
Tapi bagaimana membayangkan ada masa ketika Jurnalisme berkompromi dengan kepentingan bisnis/industri? Apa betul masa paceklik iklan telah mengorbankan prinsip-prinsip jurnalistik konvensional, sehingga akhirnya terpaksa kalah oleh kepentingan bisnis kontemporer?
Ada yang bilang, saat ini Jurnalisme memang sedang ada di simpang jalan. Kesakralan mitosnya yang berusia ratusan tahun, diam-diam sedang beradaptasi di lingkungan yang serba baru.
Bisa dikatakan, mayoritas jurnalis masih mencoba bertahan tetap meneguhkan prinsip independen. Tapi, diam-diam, ternyata sedang dan sudah terjadi pergeseran massif di berbagai belahan dunia. Contoh yang paling ekstrim, sudah ada publisher yang melakukan penyatuan antara editorial dan advertorial. Juga ada yang sudah mengimplementasikan konsep jurnalistik baru –walau masih jadi kontroversi dan memicu resistensi— yang memproduksi konten berbayar, temanya pesanan, dan berorientasi menyuarakan aspirasi/kepentingan bisnis merek tertentu.
Berikut beberapa tanda-penanda pergeseran jurnalisme itu. Walau cenderung memicu debat, namun fenomenanya belakangan makin kerap jadi topik bahasan di lansekap komunikasi, media, dan periklanan. Selain daftar di bawah, masih banyak lagi tanda-penanda lainnya. Silakan menambahkannya. Tapi yang jelas, dengan begitu panjang daftar yang bisa diinventarisasi, setidaknya, membukakan kesadaran bersama. Bahwa dinamika teknik pengemasan dan pengantaran pesan di lansekap yang chaotic ini, diam-diam ternyata sudah terimplementasi. Bukan sekadar diskursus atau baru sebatas tataran wacana. Pergeserannya sedang dan sudah berlangsung. Perubahan konsep jurnalisme benar-benar sudah terjadi.
Fenomena Prosumen. Itu akronim dari Produsen yang juga Konsumen. Ada adagium berbunyi: bahwa Prosumen telah mentransformasi media (dalam paradigma lama). Dari sekadar berisi konten, editorial, dan berfungsi sebagai konektor dengan audiens, menjadi “media” dalam wujud Brand dari Idea. Masuk akal, memang. Karena walau ada istilah content is king, namun yang menjadikannya king, adalah context. Reputasi, otoritas dan kredibilitas Brand, termasuk di dalamnya. Dan Brand dari Idea, menjadi pembeda media dengan “media”. Namun karena sekaligus memerankan konsumen tapi juga produsen pesan, maka timbul persoalan baru. Otoritas sumber berita jadi masalah. Otentisitas pesan yang disebarkan juga diragukan. Jangan-jangan cuma copy-paste. Bukan aspirasi otentik dari sumber yang jadi creator-nya. Lantas, orisinalitas keseluruhan pesan juga dicurigai. Jangan-jangan sudah ada bagian yang diedit, dimodifikasi, direkayasa atau dihapus demi alasan tertentu. Walau sampai kini masih diperdebatkan, sejauh mana karya publik (bukan jurnalis professional) bisa dikategorikan karya jurnalistik? Toh tak pelak, fenomena tersebut menandai potensi pengembangan baru jurnalisme baru.
User-Generated Content dan Citizen Journalism. Konsep UGC berimplikasi mengubah pola komunikasi menjadi Many-to-Many. Banyak sumber pesan, secara serempak berbunyi menyuarakan sebanyak mungkin informasi. Ditujukan kepada sebanyak mungkin komunikan, yang kemudian menyebarluaskannya lagi, kepada audiens masing-masing. Begitu seterusnya, berkali-kali. Maka terjadilah banjir dan inflasi polusi pesan. Audiens mulai kewalahan mencerna makna pesan yang membanjir. Bahkan pakar Brand mulai mengkhawatirkan CGC sebagai potensi ancaman “pembunuh” merek. Maka dibutuhkan jurnalisme baru. Yang berperan mengkurasi akumulasi informasi. Memilah dan memilihkan hanya informasi yang relevan dan substansinya berguna. Mengkorelasikan teks dan konteks. Merangkum dan mensintesa, sehingga menjadi risalah sederhana. Yang lebih mudah dipahami dan dicerna.
Tren segalanya menjadi Sosial dan Ritel. Ketika semua menjadi Sosial, maka serta-merta hierarki dan strata pun runtuh. Horisontalisasi lansekap pun terjadi tak terhindarkan lagi. Konsep media jurnalistik konvensional, yang memposisikan antara pemberi informasi dan pengkonsumsi informasi dalam hubungan vertical-diametral, mendadak irrelevan. Kini semua menjelma menjadi media: ya memproduksi, ya mendistribusi, sekaligus mengkonsumsi informasi yang mereka kreasi sendiri. Dalam perkembangannya, ini berlanjut ke tren segala sesuatu menjadi bersifat ritel. Segala sesuatu langsung terhubung ke end-user. Tak terkecuali metode pengiriman pesan. Jurnalisme dalam wujudnya yang baru hadir di sikon itu.
Fenomena penyatuan content dengan advertising. Terjadi integrasi antara kebijakan editorial dengan advertorial. Konon, fenomena ini dipicu premis bahwa publik kini sebenarnya tak lagi membutuhkan media (dalam paradigma lama). Yang mereka butuhkan idea sosial. Bukan media social. Pertanda yang mudah dirasakan: Berita di media mainstream,kini kalah memikat dibanding cerita yang disebarkan dari mulut-ke-mulut. Fakta digeser empati. Logika, kalah penting dibanding aspirasi. Kekuatan media ukurannya memang pada pengaruhnya. Tapi prasyarat eksistensi media, adalah jika content-nya relevan dengan aspirasi publik. Maka demi tak mengalami resistensi, Merek pun harus menjelma ke dalam Idea Sosial. Dikemas secara komunikatif dalam jurnalisme wujud baru.
Budaya BYOD. Alias Bring Your Own Devices. Fenomena inilah yang dalam istilah Raja Media Rupert Murdoch, merampas kontrol media dari tangan professional, kepada audiens dan publik kebanyakan. Konsep Citizen Journalism serta wujud baru jurnalisme lainnya, menjadi sangat berkembang di kultur BYOD. Walau masih ada pro-kontra terkait aspek akurasi, verifikasi, konfirmasi –prinsip dasar jurnalisme mainstream— secara umum publik mempersepsi positif produk reportase berbasis BYOD ini. Sebagai cermin demokratisasi media, katanya. Atau meminjam konsep yang dikembangkan Koran The Guardian di Inggris, ini dikatakan merupakan konsekuensi dari yang mereka istilahkan Open Journalism. Yang bertujuan menyediakan sebanyak-banyaknya perspektif dari suatu kejadian, dengan melibatkan platform dan format media apa pun.
Fenomena Crowdsourcing. Ini menjadi pilihan masuk akal baik bagi pihak publisher maupun advertiser, demi alasan kepraktisan dan efisiensi beaya. Namun prinsip Co-Creation secara Collaboration ini belakangan diasosiasikan bernuansa negative. Cenderung eksploitatif, sifat keuntungannya sepihak dan tak adil. Maka dalam perkembangannya, yang kini popular adalah konsep serupa yang diistilahkan Creative Services Exchange. Berupa konsep hiper-sindikasi pembuatan content/pesanberbayar, yang dikerjakan oleh para jurnalis professional. Atau konsep aggregasi ide para pakar/professional di bidang industri yang spesifik. Produk akhir kreativitas keroyokan ini selanjutnya bisa didistribusikan via akses yang dedicated maupun open platform.
Trend Brand Journalism, Content Marketing dan Thought Leadership Messages. Lansekap yang bising, gaduh dan mengalami inflasi polusi informasi, menyulitkan pemasar menyampaikan pesan promosi yang otentik secara klir. Karena tuntutan ritme kehidupan yang serba tergesa, menyulitkan audiens menangkap makna dari fakta. Karena Crowdnoise berpotensi mementahkan pesan dan fakta apa pun yang disampaikan sumber formal. Sikon tersebut membuat pebisnis butuh kanal penyalur pesan resmi di ekosistem yang kredibel, yang disediakan platform media bereputasi, yang menjadi referensi audiens. Strategi Content Marketing dari Brand Journalism menjadi pilihan solusinya. Tentang Brand Journalism lebih rinci di sini.
Adanya “Isme” baru, bahwa Brand is Story. Merek itu (harus memiliki) cerita. Karena tanpa cerita yang berkesan di benak audiens, merek cuma jadi fakta yang berserak tak berbeda seperti banyak lainnya. Cuma sekadar ada tapi tak bermakna, gara-gara lansekap dijubeli beragam me too product. Maka, untuk membuatnya berbeda dan bermakna di benak audiens-nya, diperlukan wujud jurnalisme baru sebagai approach-nya. Misalnya, merek harus merasuk ke dalam identitas personal pemakainya. Merek juga harus menjelma dalam pesan yang dituturkan. Tentang informasi, perbandingan dan experience pengguna yang telah merasakan faedah. Jurnalisme baru yang bisa melakukan itu. Ini terkait tren ke depan yang diprediksi menyatukan antara fungsi search dan create, dengan publish dan syndicate, serta share, link dan rank.
Tren Peer Power. Serta Advocacy Marketing. Bandul marketing kembali berayun. Awalnya aktivitas marketing sifatnya mass, menyasar ke semua. Tapi dalam perkembangannya, tuntutan kastemisasi memaksa marketer memilih pendekatan yang lebih customized-individualized. Lebih segmented bahkan fragmented. Dalam perkembangannya, batasan segmentasi secara demografis dan geografis kian lumer. Pasar kontemporer mewujud dalam Peer. Kelompok cukup kecil –tak dibatasi secara kaku oleh umur, jenis kelamin, SES dan atau pemilahan konvensional—yang berbasis kesamaan ide, aspirasi, kepentingan dan sikap-nilai yang spesifik. Akibatnya, paradigm jurnalistik lama jadi gagu. Di lingkungan Peer yang menganut unique value, pesan dalam kemasan jurnalisme baru yang digugu.
The Currency of Sharing. Dulu ada adagium, yang memiliki dan menguasai informasi, adalah sang penguasa sejati. Sehingga, demi melestarikan kekuasaan, dulu informasi tak saja dikuasai, tapi juga dimiliki untuk sendiri, sehingga bila perlu, harus disembunyikan. Jika harus dibagi pun, penyebarannya berbasis diskriminasi. Tapi era sudah berubah. Nilai kekuasaan bergeser. Kini bukti memiliki, bukan sebanyak-banyaknya menguasai untuk diri sendiri. Justru adalah kesediaan berbagi. Konsep berbagi telah menjadi currency. Berbagi adalah alat menaikkan posisi tawar. Semakin berbagi, semakin bernilai kekuasaan dan pengaruh yang didapat si pemilik informasi. Jurnalisme baru lahir dan menjadi solusi jitu, dalam skenario sikon seperti itu.
Apakah semua fenomena, pergeseran, tanda-penanda-pertanda yang ada benar-benar mengubah kesakralan jurnalisme? Mari kita simak sama-sama ke depan. \kris moerwanto
Sumber ilustrasi http://ow.ly/gewJ9
Tinggalkan komentar