Seberapa kompetitifkah daya saing Indonesia? Sebuah renungan.
Pelaksanaan KTT APEC 2013 di Bali, harus dipersepsi sebagai alarm peringatan. Karena di antara topik yang prioritas dibahas di hajatan pertemuan puncak antar kepala negara dan atau pemerintahan, serta para pemimpin bisnis se-Asia Pasifik itu, adalah terkait peran, eksistensi dan kedaulatan ekonomi Indonesia ke depan: tentang liberalisasi perdagangan dan investasi pada 2020.
Tak bisa dibantah, kalangan pengamat ekonomi, perdagangan, praktisi bisnis, bahkan kalangan Pemerintah umumnya memang pesimistik soal isu daya saing indonesia. Fakta bahwa peringkat competitiveness Indonesia ternyata masih di bawah rata-rata anggota ASEAN, adalah ironi yang memang mencemaskan.
Apalagi kalau dikaitkan dengan kian dekatnya pelaksanaan ASEAN Economic Community 2015. Rumor yang berkembang bahwa Thailand, Malaysia dan Singapura ngebet banget, pengin pelaksanaan AEC sesegera mungkin dimulai, makin menguatkan kekhawatiran, bahwa Indonesia di forum pasar bebas ASEAN tersebut, jangan-jangan, cuma akan jadi korban bulan-bulanan 😦
Faktanya, hari-hari ini, agresivitas negara-negara tetangga berpersiapan menyongsong pasar bebas ASEAN pun sudah makin terang-terangan di depan mata. Infrastruktur dan eksosistem pendukung –data, product, outlet, sarana promosi, kanal distribusi, payment gateway, dan aspek teknologi penyokongnya– sudah mulai hadir terhampar, dan makin dikebut kesiapannya. Sementara itu, ironisnya, sense of urgency praktis belum terasa di kalangan industriawan dan UMKM kita –para pelaku bisnis yang sebentar lagi bakal bertarung langsung menghadapi banjir global brand. Isu tentang perlunya memiliki daya saing (competitiveness), belum jadi prioritas.
Menurut hasil survey lembaga-lembaga pemeringkat Internasional, ranking keunggulan Indonesia memang terus meningkat. Tapi, itu belum mencukupi. Terakhir misalnya, angka Global Competitiveness Index 2013 yang dikeluarkan World Economic Forum pada September 2013, menempatkan competitiveness Indonesia di peringkat 38. Naik 12 tingkat –loncatan terbesar dari seluruh yang dicatatkan 148 negara yang diperingkatkan– dari semula berposisi di peringkat ke-50 pada tahun silam.
Tapi merujuk tabel berikut, posisi peringkat Indonesia, ternyata masih di bawah Thailand (di posisi 37). Pun juga kalah dari Malaysia dan Brunei Darussalam (masing-masing 24 dan 26). Sementara Singapura, bahkan melejit di peringkat ke-2 dunia. Atau hanya terpaut satu posisi di bawah Swiss, sebagai Negara dengan daya saing terkuat sedunia, versi WEF.
Menurut WEF, ada 12 pilar yang menjadi patokan daya saing suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Indonesia telah dianggap berhasil mencapai perbaikan yang sangat signifikan di 10 pilar pengukuran tersebut. Naik 17 peringkat dari sebelumnya di urutan 61. Utamanya berkat perbaikan di bidang infrastruktur. Meliputi perbaikan infrastruktur bandara, pelabuhan, jalan raya, pembangkit energi, serta penyediaan sarana air bersih.
Tinggal cuma 2 pilar saja, yang Indonesia dianggap masih bermasalah: yakni aspek Health and primary education dan Labour market efficiency. Problem yang masih harus diatasi termasuk menyangkut penyediaan fasilitas kesehatan/PUSKESMAS. Jaminan publik mendapat hak pendidikan secara layak. Pun problem UMR, outsourcing, serta PHK.
Sementara itu, dalam Laporan World Competitiveness Rankings 2013 yang dirilis Institute for Management Development pada Mei 2013, Indonesia diposisikan ada di peringkat ke-39. Atau berarti masih di bawah rata-rata Negara ASEAN lainnya. Filipina, misalnya, posisinya persis di atas kita di urutan 38. Sementara Singapura di peringkat 5, Malaysia di posisi 15, dan Thailand urutan ke-27.
Peringkat Human Development Index Indonesia menurut Human Development Report 2013 yang dibuat United Nation Development Program (UNDP) pun tak bisa dibilang memuaskan. Di laporan itu dikatakan, nilai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada di posisi 121 dari total 187 negara di dunia yang diperingkat.
Dengan peringkat itu, artinya Indonesia dianggap masih tergolong negara ekonomi lemah. Daya saing, apalagi daya tandingnya, dikategorikan belum digdaya. IPM Indonesia yakni 0,629, masih di bawah rata-rata dunia 0,694. Bahkan di bawah angka regional 0,683. Indonesia dikategorikan sebagai “Negara Pembangunan Menengah” bersama 45 negara lainnya. Kalah dibanding Singapura (peringkat ke-18), Brunei Darussalam (30), Malaysia (64), Thailand (103) serta Filipina (114).
Jadi, seberapa competitive-kah Indonesia? Faktor-faktor dan peluang apa saja yang bisa digunakan untuk meningkatkan daya saing Indonesia?
Berikut adalah beberapa indikator sederhana, yang bisa menjadi peluang peningkatan daya saing Indonesia. Sekaligus untuk menunjukkan, ancaman (atau peluang) nyata sudah hadir di depan mata para pebisnis dan UMKM kita. Bahwa persiapan dan langkah antisipasi nyata, sudah begitu sangat urgent-nya. Bahwa darurat kedaulatan ekonomi bangsa, harus dicanangkan saat ini juga. Semakin kita menganggap remeh indikator dan fenomena di bawah ini, semakin competitiveness Indonesia, sulit diwujudkan nyata.
Ancaman Ledakan Penduduk. Berdasar survey BPS, pada akhir 2013 ini, populasi penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 250-an juta. Pertumbuhan penduduk sendiri, rata-rata naik 1,5% per tahun. Atau berarti terjadi pertambahan 3,5 sampai 4 juta manusia baru setiap tahun. Tanpa strategi pengendalian memadai, ledakan jumlah penduduk ini bakal akan sangat merugikan daya saing Indonesia. Lho kok bisa?
Ledakan tak terkendali jumlah penduduk Indonesia –sejak pelaksanaan Program Keluarga Berencana melesu hampir 13 tahun terakhir– adalah pemicu munculnya problem kualitas kehidupan: masalah kesejahteraan sosial dan kemasyarakatan. Tak memadainya jaminan kesehatan publik. Hingga ke keterbelakangan tingkat pendidikan. Fakta mencatat, rata-rata usia bersekolah Indonesia adalah 5,9 tahun (Berarti: rata-rata bahkan tak lulus SD). Cuma 20% yang bisa menuntaskan pendidikan hingga tamat SMA. Cuma 4% saja masyarakat yang mampu menempuh perguruan tinggi.
Dengan fakta potret pendidikan kita seperti itu, mari merenung, betapa sulitnya Indonesia mampu melahirkan global talent yang berkualifikasi sanggup berkompetisi di level Global? Bagaimana bisa Indonesia berdaya tanding? Bagaimana Indonesia punya daya saing?
Fenomena Bonus Demografi. Seperti sama diketahui, istilah ‘Bonus Demografi’ adalah merujuk kepada suatu keadaan, dimana suatu Negara berpeluang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, karena menurunnya angka kelahiran secara jangka panjang. Penandanya, adalah terjadi lonjakan jumlah penduduk usia produktif (15 s/d 64 tahun) yang melebihi jumlah penduduk usia non-produktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun).
Bonus demografi sendiri, seperti diurai di blog Om Yuswohady, terkait dengan angka dependency ratio, atau angka perbandingan jumlah penduduk usia non-produktif yang ditanggung oleh usia produktif. Di tahun 2020 hingga 2035 misalnya, Indonesia diperkirakan akan memiliki dependency ratio antara 0,4 hingga 0,5. Itu berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif hanya akan menanggung sekitar 40 hingga 50-an orang penduduk usia non-produktif. Dalam situasi kependudukan seperti itu, Indonesia berpeluang mengalami masa keemasan secara ekonomi.
Tapi fenomena Bonus Demografi ini hanya bisa dioptimalkan kemanfaatannya jika Pemerintah berperhatian memadai terhadap investasi di bidang pendidikan dan kualitas sumber daya. Menyediakan dukungan sarana kesehatan yang layak. Serta memiliki kebijakan makro ekonomi yang kondusif.
Itu sebabnya wewanti Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal perlu disimak. Menurutnya, jika pendidikan berkualitas tak tersedia, pun kesehatan, keterampilan serta standar kompetensi dan lapangan pekerjaan yang ada, mutunya tak memadai, maka besarnya jumlah kalangan usia produktif itu justru akan menjadi beban negara. Justru melemahkan daya saing Indonesia.
Lebih gawatnya lagi, pada tahun 2050, dependency ratio Indonesia diperkirakan akan naik lagi jadi 0,73. Jika gerakan sadar menabung gagal dijalankan di dasawarsa ke depan, pun daya dukung finansial kalangan usia produktif kedodoran, maka rata-rata setiap 100 penduduk usia produktif, bakal kerepotan harus menanggung 73 orang usia nonproduktif. Ini akan memperbesar beban pembangunan. Karena negara harus menyediakan anggaran sangat besar untuk jaminan pensiun dan kesehatan bagi banyak lansia. Kalau sudah begini, jangan berharap Indonesia punya competitiveness.
Trend Urbanisasi. Berdasar laporan McKinsey Global Institute, proporsi penduduk Urban di Indonesia pada 2030 diperkirakan mencapai 71%. Atau terjadi perpindahan sebanyak 32 juta jiwa penduduk, dari kawasan pinggiran ke perkotaan. Angka ini berarti naik 53% dibanding saat ini.
Urbanisasi –perpindahan penduduk desa ke kota– sendiri menjadi implikasi beberapa kejadian. Di antaranya akibat pembentukan provinsi baru. Pemekaran wilayah. Atau dampak positif pemberlakuan UU Otonomi Daerah. Pun efek peningkatan kesejahteraan pekerja dan pegawai. Serta perubahan administratif status kawasan, dari rural menjadi urban.
Terkait ini, McKinsey memprediksi akan terjadi kenaikan overall share dari kawasan Urban terhadap GDP Indonesis pada tahun 2030, menjadi 86% dari awalnya 74%. Perekonomian di kawasan setingkat kecamatan atau kabupaten di berbagai pelosok Indonesia, diramalkan juga akan bertumbuh luarbiasa. Kota-kota seperti Pekanbaru, Pontianak, Kerawang, Makassar dan Balikpapan, diramal akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kelas menengah. Angka annual growth rate-nya terhadap GDP Indonesia pada 17 tahun ke depan, lebih dari 7%.
Yang juga menarik, pada 2030 puluhan kota utama di Jawa, termasuk Surabaya, Yogya, Solo, Semarang dan Bandung, diprediksi akan mencatatkan pertumbuhan tahunan atas GDP, di atas 7%. Sementara rata-rata kontribusi kota-kota ini ke GDP Indonesia pada 2030, adalah 25-an%. Padahal, kontribusi Jakarta atas GDP Indonesia di periode sama, diprakirakan stagnan di kisaran 20% saja.
Angka-angka paparan McKinsey tadi menunjukkan, betapa potensialnya Indonesia. Betapa luarbiasanya “daerah” –terminologi yang kerap kali secara simplistik diasosiasikan dengan gambaran ketidakmakmuran, ketidakmajuan dan keterbelakangan ekonomi suatu kawasan. Padahal, makin kita abai dan meremehkan “daerah”, makin investasi asing merangsek masuk, tanpa bisa terbendung lagi.
Kota Amatan Lembaga Survey Asing Makin Bertambah. Apa artinya ini? Berarti jumlah Kota yang menjadi kepentingan bisnis Global Brand juga bertambah. Kenapa kepentingan bisnis Global Brand bertambah? Karena tingkat kemakmuran dan kemajuan perekonomian penduduk di kota-kota pantauan baru tersebut, tak kalah, bahkan makin mengungguli, kota-kota amatan yang dipilih sebelumnya.
Seperti diketahui, saat ini Nielsen memiliki 9 titik pantauan pasar. Dari Medan, Palembang, DKI+Bodetabek dan Bandung. Kemudian Semarang, Yogyakarta+Sleman Bantul dan Surabaya+Gerbangkertasila. Lantas Denpasar serta Makassar.
Dalam jangka 3 hingga 4 tahun ke depan, Nielsen berencana menambah pasar amatan baru. Diawali penambahan kota Solo sejak kwartal akhir 2013 ini. Kemudian Serang, Pekanbaru dan Batam di 2014 nanti. Lantas Bandar Lampung, Manado dan Malang di 2015. Sementara pada 2016, kota tambahannya adalah Pontianak, Balikpapan dan Padang.
Tambahan kotan amatan baru ini sekaligus mengkonfirmasi, bahwa ‘pasar Indonesia Baru’ sedang terbentuk. Faktanya, Nielsen Indonesia mencatat, pertumbuhan terbesar Kelas Menengah Indonesia, justru terjadi di Luar Jawa. Naik 71% dari sebelumnya 53%. Pekanbaru, Pontianak, Makassar dan Balikpapan, adalah di antara contoh kota-kota emerging market itu.
Nielsen juga mencatat, geliat perkembangan ekonomi Indonesia, kini pun bukan cuma terjadi di Pulau Jawa. Angka pertumbuhan volume penjualan ritel dalam setahun terakhir mencapai 13,5%. Dan berpotensi terus naik. Itu berarti, ke depan, Jakarta, serta kota-kota besar di Pulau Jawa, yang angkanya cuma 12-an%, perannya secara ekonomi, bukan segala-galanya lagi. Justru kawasan di luar Jakarta, bahkan Luar Jawa, adalah pasar primadona masa depan.
Suka tak suka, kita kini harus mengenali ulang makna dan potensi Indonesia Baru yang sedang terbentuk. Akan jadi cerita ironi, jika ‘Asing’ lebih tahu, paham dan lebih menguasai seluk-beluk ‘Daerah’. Semakin kita bersikap masa bodo, abai, atau mengingkari perubahan yang sedang dan akan terjadi ke depan, semakin potensi-potensi kedaerahan di Indonesia tadi, tak menjadi milik kita lagi. 😦 \kris moerwanto
Sumber ilustrasi: http://ow.ly/piwxc
Tinggalkan komentar