Pameran sepatunya para pegawai negeri se-Indonesia, baru saja usai digelar di Jakarta. Begitu plesetan guyonan sejumlah pengusaha sepatu lokal, yang baru menggelar pameran di gedung megah JCC Jakarta, 12 hingga 15 Februari 2009, kemarin.
Mungkin plesetan itu tak sepenuhnya bermaksud bercanda. Karena Menteri Perindustrian Fahmi Idris dalam waktu dekat memang berencana mewajibkan segenap anggota pegawai negeri lengkap beserta anak istrinya harus membeli sepatu buatan lokal, atau kena sanksi administratif.
Masih kontroversi, memang. Tapi sepertinya beleid ini suka tak suka, tetap akan dijalankan. “Februari 2009 sudah terbit Inpres yang member arahan dilakukannya peningkatan konsumsi produk dalam negeri,” ujar Pak Menteri.
Alasan Pak Menteri, dengan cara begitu, kegiatan produksi domestik – khususnya industry persepatuan serta produk berbasis kulit lainnya — bisa bergerak optimal. Sehingga tercipta multiplier effect. Sehingga ekonomi mikro bergulir. Banyak tenaga kerja terserap. Bahkan pengusaha lokal tak perlu takut merugi. Sehingga, ujung-ujungnya, dampak krisis global , yang dikhawatirkan menterpurukkan ekonomi nasional, bisa diminimalisasi.
Konon Pak Fahmi tinggal mengatur kesepakatan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Bila dua menteri ini sepakat, kelak digariskan: apakah perintah larangan bagi pegawai negeri membeli sepatu selain buatan lokal, akan jadi aturan wajib yang tak boleh dibantah, atau sekadar himbauan.
Betul. Ide yang cemerlang, memang. Menjadikan situasi krisis sebagai “unsur pemaksa” untuk meningkatkan konsumsi sepatu nasional. Sembari ditakut-takuti dengan bayangan dampak social, jika banyak buruh menganggur, gara-gara industri lokal berhenti berproduksi.
Sayangnya, jarang diungkap, bahwa di luar faktor krisis global yang bermula di AS itu, dari tahun ke tahun, tingkat penyerapan produk berbasis kulit serta sepatu buatan Indonesia di pasar ekspor memang terus anjlok.
Pada 2003 misalnya, volume ekspor produk serba kulit serta sepatu mencapai 26 jt kg. Tapi tahun 2007 (artinya jauh sebelum krisis yangf disebut-sebut sebagai biang belum lagi muncul) volume ekspor ini anjlok tersisa hanya kurang dr 14 juta kg.
Devisa yang diterima Negara dari ekspor ini memang meningkat. Tahun 2003 tercatat 150 juta USD, sementara di 2007 mencapai hampir 180 juta USD. Sayangnya, di periode yang sama, angka volume impor produk serba kulit dan sepatu dari luarnegeri ke Indonesia ternyata justru terus meningkat. Tercata tadinya cuma 5 jt kg di tahun 2003 (dengan nilai uang kurang dari 20 jt US Dollar). Tapi setahun berikutnya, angka impor ini naik sampai sekitar 14 jt kg (meningkat nilai impornya menjadi 30 jt USD). Angka it uterus melonjak. Sebanyak 16 jt kg (lbh 40 jt USD) di 2005, lantas 20 jt kg tahun 2006. Bahkan tahun 2007 tercatat hampir 60 juta.
Apa yang salah? Sepertinya ini mengulang lagi kisah klasik tentang potret banyak pebisnis Indonesia yang lebih menitik-beratkan ke soal Sales (alias jualan) ketimbang marketing (alias pemasaran). Tak heran, yang banyak dilakukan, pertama-tama adalah langsung membuat program produksi, menciptakan merek, terus merancang produk sebanyak-banyaknya, dan tahap berikutnya adalah jualan, jualan dan jualan.
Mereka merasa yang dibuat sudah produk yang terbaik. Merek terbaik. Program terbaik. Pokoknya terbaik puol. Mereka baru panik dan kaget ketika yang mereka sebut karya terbaik ternyata dipersepsi negatif oleh pasar: diabaikan. Batal dibeli. Bahkan ditolak pasar.
Jarang yang memperhatikan pentingnya upaya membuat pasar tak sekadar cuma tahu, pernah dengar atau sekadar mengenal produk kita. Tapi juga butuh upaya agar muncul ketertarikan. Bahkan berlanjut muncul minat ingin membeli. Jarang yg sadar bahwa itu semua butuh data pembanding . Butuh kajian pasar. Butuh kemauan memahami dan mendengarkan apa maunya pasar. Bukan memaksa pasar menerima apa maunya kita.
Tanpa itu, para pebisnis kita akan cepat kelelahan dan lekas frustrasi. Karena terpaksa (atau dipaksa oleh keadaan) harus ekstra keras menjajakan produk (yang mereka anggap terbaik cuma karena yang bikin mereka sendiri), padahal pasar emoh (karena memang bukan itu maunya pasar). Cape dey….. (kris Jawa Pos Jkt)
Tinggalkan Balasan