There’s something wrong with this industry. Begitu komentar Pak Freddy Tulung, Dirjen Sarana Komunikasi dan Desiminasi Informasi Depkomindo RI, mengkritik sikon periklanan nasional. Itu disampaikannya saat memberikana arahan kepada pimpinan International Advertising Association Indonesia Chapter di kantor Depkomindo Jakarta, Selasa 17/2/09 kemarin.
Komentar Pak Dirjen didasarkan hasil Rapid Assesement. Ditemukan data bahwa omzet bruto periklanan setahun 2008, mencapai 40 Triliun. Sungguh angka yang luarbiasa. Namun, mayoritas masih hanya dibelanjakan untuk aktivitas periklanan di industri penyiaran (broadcasting). Sayangnya lagi, jumlah sedemikian besar praktis tak memberikan kemanfaatan secara nasional. Sekitar 87% perputarannya didominasi Jakarta. “Tidak ada trickle down effect ke daerah. Hanya terkonsentrasi di Jakarta,” Pak Dirjen mengingatkan.
Ironisnya, tidak meratanya dampak ekonomi industry periklanan di Indonesia, bahkan juga dirasakan sendiri oleh pelaku industry periklanan di Jakarta. Misalnya itu tercermin dari terjadinya pemusatan anggaran periklanan ke sejumlah terbatas agency periklananj berafiliasi global. Sementara kehidupan bisnis mayoritas agency periklanan lainnya justru kembang-kempis. Maka praktik tak terpuji seputar perang harga, perang diskon, perang komisi, fee dan seterusnya, belakangan makin memperkeruh situasi. Dalihnya, demi sekadar mempertahankan diri. Demi bisa survival di tengah kondisi serba tak ideal. Maka berlakulah prinsip seleksi alam: the strong of the fittest.
Masukan lain yang disoroti Pak Dirjen, adalah masih dominannya unsure asing dalam aktivitas industry periklanan Indonesia. Mulai dari aspek dukungan teknologi, sumberdaya (resources), paradigma hingga ke perspektif. Tak heran, banyak produk periklanan di Indonesia, justru bernuansa asing. Kurang didukung pemahaman unsure local Indonesia sendiri.
Yang juga disayangkan, hingga kini periklanan Nasional hanya dinaungi ketentuan kode etik periklan. Beda dengan industry perfilman yang sudah memiliki undang-undangnya.
Padahal, sebagai salah salah industry terkategori berbasis kreativitas, periklanan termasuk yang memiliki tugas pengembangan watak suatu bangsa. Ikut bertanggungjawab sebagai pelestari nilai-nilai moral, etika, budaya, estetika, serta kepribadian suatu bangsa. Bahkan banyak Negara kini meyakini, industry kreatif bisa menjadi harapan untuk meminimalisasi dampak krisis ekonomi yang kini mulai menggerus daya kekuatan ekonomi suatu bangsa.
Jika ada perangkat perundangan yang dekat dengan dunia periklanan, itu adalah Undang-undang nomer 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Sedihnya, produk perundangan ini pun bernasib kontroversi, Tercatat selama 5 tahun perundangan ini mengalami 11x (tak tangung-tanggung: sebelas kali!!!) proses Judicial Review. Rupanya banyak kepentingan, yang mewakili pemodal, pelaku hingga masyarakat yang merasa interes-nya terusik. Sehingga mereka bergantian mengajukan peninjauan ulang.
Tak urung Pak Dirjen menyampaikan kekecewaannya. Sebab, dikarenakan terlampau lama periode yang dibutuhkan untuk penetapan perundangan yang sah, kondisi saat ini, bagai ibarat nasi sudah menjadi bubur. Saat pemerintah sebagai regulator ingin bertindak sesuai kewenangannya untuk menjamin keadilan dan hak masyarakat, situasi sudah terlanjur kompleks. Situasinya bak hukum rimba. Tak ada aturan. Lawless. “Seperti Texas di zaman abad ke-19,” Pak Dirjen menyindir.
Pak Dirjen sudah mengingatkan. Ketidak-idealan industry periklanan sudah mulai terasa dampak pedihnya. Mau tak mau, kini bola terpulang kepada kalangan praktisi periklanan sendiri (pengiklan, agency, media). Sudah sadarkah kita semua? Kapan kita terpanggil untuk mulai bertindak memperbaiki keadaan? Bangsa ini punya kita sendiri lho. Maju ambruknya, kita jugalah yang bikin (kris Jawa Pos Jkt)
Tinggalkan Balasan