Pengelola Koran pasti bersyukur mendengar ini. Hasil survey tergres di AS secara telak membuktikan, di sana Koran masih banyak pelanggannya. Mereka bahkan pembaca kategori fanatik. Tak heran, di sana Koran dianggap masih lebih unggul dibanding kinerja media modern, alternatif, seperti online.
Mayoritas terbesar kalangan dewasa di sana tetap menganggap edisi cetak (print) sebagai sumber terpercaya berita dan hiburan. Bahkan 10 tahun ke depan, Koran diyakini masih tetap eksis di AS. Bahkan masih akan memiliki peran penting sebagai penyedia informasi.
Adalah survey The Rosen Group — sebuah lembaga kehumasan full service yang berkantor di Washington DC — yang membuktikan itu. Melibatkan 316 responden dari kelompok usia 12 hingga 75 tahun, survey menemukan, 80% responden mengaku saat ini tetap dan akan terus berlangganan Koran dan majalah. Sejumlah 55% mengaku tetap rutin membaca Koran di hidup keseharian mereka, walau mereka aktif ber-online. Dan 53% responden menyebut merasa perlu tetap berlangganan versi cetak Koran, walau kesehariannya telah mengandalkan jasa media online.
Mayoritas, sejumlah 83% responden juga yakin, ke depan keberadaan Koran masih relevan. Sejumlah 45% yakin Koran dan majalah akan tetap eksis dalam 10 tahun ke depan, walau kehadiran media online makin menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan masyarakat di AS.
Survey yang diadakan 18 hingga 23 Februari 2009 silam itu juga mencatat, di mata responden, medium yang paling pas untuk menyampaikan informasi memang adalah Koran. ”Masyarakat menggunakan online hanya saat perlu berita dan informasi gaya hidup yang sifatnya sekilas. Tapi print media tetap dianggap sebagai medium yang penting untuk mendapatkan kedalaman, informasi yang rinci, dari sumber kredibel,” ujar Lori Rosen, bos The Rosen Group (bisa dijumpai di www.rosengrouppr.com).
Bagaimana dengan menjamurnya ketersediaan PDA, SmartPhone atau handheld lain sebagai alat pengakses informasi yang praktis, ringkas dan lekas? “PDA seperti juga personal computers, belum akan menggantikan keberadaan Koran,” lanjut Rosen. ”Responden bilang, mereka merasakan kepuasan tersendiri dengan baca Koran. Lagi pula Koran, lebih mudah dibaca dan lebih nyaman dipegang,” imbuhnya.
Di tengah banjir informasi sebagai konsekuensi kian mudahnya masyarakat mendapatkan informasi menggunakan ragam alat komunikasi personal, di mana pun, kapan pun, persoalan kredibilitas sumber informasi kian jadi perhatian. Koran, majalah, dianggap jauh lebih terpercaya sebagai sumber informasi dan referensi data ketimbang online.
Hampir 60% responden setuju, informasi dari website, milis, jejaring sosial perkawanan (Facebook, Friendster, YouTube, MySpace, Twitter dll), pun informasi berbasis e-mail, dikategorikan sumber info tak kredibel. Karena siapa pun dalam sekejap mudah beropini tentang apa pun – konstruktif maupun destruktif — via jejaring online, yang bisa mempengatuhi orang lain.
Hasil Riset terpisah oleh The Participatory Marketing Network dan Laboratorium Interactive & Direct Marketing di Lubin School of Business Univeritas Pace mencatat, 84% pengguna internet memang mengaku tahu/melihat iklan saat terkoneksi ke situs jejaring social dan perkawanan. Tapi 74% mengaku jarang meng-klik iklan tersebut. Bahkan 36% mengaku tak pernah meng-klik iklan tadi. Sementara dari mereka yang mengklik, 81% responden mengaku iklan yang mereka jumpai, tak cocok dengan jenis medium, juga tak relevan dengan kebutuhan informasi mereka.
Lebih lanjut, sejumlah 38% responden mengaku tak mengklik pampangan iklan, karena tak tertarik untuk tahu lebuh jauh tentang promo yang ditawarkan atau mengetahui lebih jauh tentang produk atau merek yang beriklan. Sementara 41% dari yang mengaku rutin mampir dan meng-klik iklan di Jejaring Sosial beralasan motifnya untuk mendownload music dan video. Dan cuma 33% yang melakukannya demi bisa terhubung ke pelanggan atau sesame pengguna produk/merek yang beriklan.
Data senada juga diungkap di laporan International Data Corporation, IDC, yang dirilis Desember 2008. Laporan itu mengingatkan, jejaring social dan perkawanan, memang kurang efektif digunakan sebagai medium beriklan.
Ini temuan menarik. Karena berlawanan dengan mitos bahwa jejaring social dan perkawanan adalah medium paling pas untuk beriklan. Alasannya, diyakini banyak yang rela menghabiskan waktu terkoneksi ke Facebook, Friendster, Youtube, Twitter, Flickr atau jejaring pertemanan lainnya. Tapi laporan tadi membuktikan, mereka yang mampir ke jejaring online, ternyata mayoritas tak mempedulikan iklan yang dilihatnya.
Bagaimana sikon di Indonesia? Masih perlu survey rinci siy. Tapi riset Alexa akhir tahun 2008 tentang perilaku pengguna internet di Indonesia hasilnya ternyata senada. Bahwa dari 10 peringkat teratas aktivitas rutin saat online, mengklik portal berita – Detik.com, Kompas.com, VivaNews.com – ternyata ada di urutan bawah.
Mudah-mudahan data angka ini ada manfaatnya. Agar di tengah kelesuan iklim ekonomi dan kebingungan pengiklan mencari channel tertepat agar bisa berjumpa target pasar produknya, mereka tak bertindak gegabah. Apalagi sekadar ikut-ikutan. Menyangka jika tak ikut berpromosi di media online, bakal dicap kuno, terbelakang, atau ketinggalan zaman. (krs jp jkt).
Tinggalkan Balasan