Mulai sekarang, jangan percaya rating. Lupakan saja. Apalagi kalau tujuannya sekadar mencari pembanding antara satu acara TV terhadap lainnya. Karena rating samasekali bukan ukuran pembanding mutu. Mosok hanya karena program A ratingnya lebih kecil dibanding Program B, maka kesimpulannya Program B dianggap lebih bagus? Buktinya, acara Kick Andy (Metro TV) yang ratingnya kecil, malah terpilih sebagai program TV terbaik 2009.
Adalah Yayasan Science Etika Teknologi –bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yayasan Tifa dan Jaringan Masyarakat Pemerhati Televisi– yang bikin penelitian sendiri melibatkan 220 responden terpelajar dan pemerhati acara TV di 11 kota besar. Kemudian hasilnya dipaparkan sebagai riset rating acara TV. Temuannya mengagetkan: selain Kick Andy yang dipilih 22,3% responden, Sindo (RCTI) dengan 3,6% dan Liputan 6 (SCTV) yang disokong 3,2% suara –contoh dari jenis-jenis program yang jarang dapat rating bagus dari lembaga survey– ternyata malah terpilih jadi program TV terbaik tahun ini.
Tahun 2008, Yayasan SET juga bikin penelitian serupa. Hasilnya pun mirip-mirip. Menariknya, sambil mengumumkan program TV terbaik versinya, Yayasan SET juga kembali mengimbau masyarakat, agar makin berani memproteskan hak-haknya sebagai pemirsa untuk mendapatkan tayangan bermutu. Logika yang dipakai: Frekuensi yang digunakan stasiun TV adalah ranah publik. Maka industri pertelevisian dituntut harus punya tanggung jawab sosial dan moral kepada masyarakat. Maka, jika ada program acara TV tak bermutu, masyarakat berhak memprotes keras.
Ini sebenarnya isu lama siy. Bahwa antara angka rating dan mutu acara TV, dianggap dua hal yang diametral. Berseberangan satu sama lain. Tapi lucunya, rating secara salah kaprah diasosiasikan terhadap mutu tayangan TV. Seakan, kalau pilih yang ratingnya tinggi, jangan harap dapat acara berkualitas bagus. Yang ada, acara bermutu memang jarang ber-rating bagus. Sementara justru acara yang ratingnya tinggi, walau kualitasnya memprihatinkan, biasanya justru jadi mesin uang bagi kocek si pengelola TV.
Apa yang salah dengan cara kita mempersepsi rating siy?
Tak kurang dari lembaga survey Nielsen Media Research pun mengakui, masih banyak miskonsepsi yang menganggu, soal penafsiran publik tentang rating. Bukan tak mungkin, salah kaprah dan rancunya pemahaman kalangan praktisi media dan periklanan, yang menyebabkan potret program pertelevisian kita seperti begini. Padahal analisa rating yang benar, idealnya sangat mempertimbangkan empat unsure berikut. Yakni (1) jam tayang (2) target pemirsa (3) tipe program dan terakhir (4) periode analisa rating tersebut dilakukan.
Dilihat berdasar kategori waktu tayangnya, membandingkan rating dua acara berbeda yang ditayangkan pagi terhadap yang ditayangkan malam, jelas salah. Wong yang memirsa kedua acara itu saat pagi dan malam saja secara demografis , psikografis dan etnografis sudah beda dan tak sama.
Ilustrasi yang diberikan misalnya begini: Program Kick Andy dengan waktu tayang pukul 22.00 hingga 23.00 WIB, target pemirsanya dikategorikan dominan laki-laki, umur lebih 30 tahun, dari segmen kelas atas. Pada jam tayang itu, jumlah penonton potensial seluruh 11 TV Nasional dari kelompok target pemirsa tersebut ada 549 ribu, atau 21,1% dari total populasi pemirsa yang 2,6 juta orang.
Dengan perbandingan tersebut, maka masing-masing dari 11 TV nasional di jam yang sama, berpeluang mendapat 1,9 point rating. Ini setara dengan 50 ribu penonton. Faktanya, rating Kick Andi di jam itu adalah 2 poin. Maka berarti kerumunan yang memirsa Kick Andy jumlahnya lebih banyak dibanding 10 TV lainnya.
Tapi, persoalan jadi beda, kalo rating Kick Andy ini dibandingkan dengan Program Jejak Petualang (Trans 7), yang walau ditayangkan di jam petang, tapi dapat support 3,2%. Atau dibandingkan dengan acara anak-anak Jalan Sesama (Trans 7) yang menghimpun suara dukungan 2,7%. Karena keduanya tayang di jam lebih petang, tentu di target segmen yang proporsional, angka rating Kick Andy pasti kalah jauh.
Angka rating juga tak bisa digunakan membandingkan antar program acara TV yang berbeda target segmen penontonnya. Masa acara yang didesain utk segmen usia mapan, dibandingkan terhadap segmen pemirsa anak-anak yang bukan jadi targetnya? Pasti salah dong.
Sebagai ilustrasi, Program Kick Andy dalam contoh di atas, bisa mendapat rating 2. Itu, jika ditinjau dari kelompok target pemirsa pria dewasa, usia 30 tahun lebih, dengan SES kelas atas. Tapi, jika dihitung terhadap target pemirsa usia anak-anak –yang bukan target penonton Kick Andy– bisa diyakini, angka ratingnya jeblok.
Membandingkan rating acara yang saling berbeda kategori juga tak masuk akal. Tayangan acara anak-anak tentu tak bisa di-compare terhadap acara talkshow, infotainment, reality show atau program berita bukan?
Kenapa tak bisa dibandingkan? Karena selain beda jam tayang, target pemirsa yang dijumpai masing-masing acara tadi pun profil, karakter bahkan latar pendidikannya pun tak sama. Apanya yang mau dibandingkan?
Dan yang terakhir, periode analisa pun mempengaruhi kesimpulan pembacaan rating. Bisa saja program yang sama, saat diukur dan dianalisa minggu lalu, angkanya lebih rendah dibanding rating terbaru. Tapi harus dipertajam analisanya, ratingnya rendah terhadap kategori program apa, tayang di jam berapa, dengan target pemirsa mana.
Sehingga kesimpulannya tak bisa serampangan. Bahwa berarti tayangan minggu lalu mutunya memang lebih jelek. Karena ketika periode analisis digeser menjadi mingguan, atau per triwulan, hasil pembacaan angkanya pun akan berbeda lagi.
Mudah-mudahan uraian sederhana ini bisa membantu mencegah yang tadinya tak paham maksud, tujuan dan konsekuensi penggunaan ukuran rating, tak mengambil keputusan ceroboh. (krs jp jkt)
tukeran link yuk?
yuk ya yuuk….