Di lansekap bisnis media, mendadak ada istilah yang belakangan popular: De-Newspaperization. Ini istilah untuk menggambarkan melesunya bisnis media cetak, khususnya Koran di Amerika. Apakah ini pertanda riwayat Bisnis Koran benar-benar menjelang tamat? Ternyata justru sebaliknya.
Secara hampir bersamaan, hampir seratusan Koran berpengaruh di AS, memang dijual oleh pemilik lamanya. Koran New Republic misalnya, kini dimiliki Chris Huges, co-founder Facebook. Milyuner Sam Zell kini memiliki Koran Los Angeles Times dan Chicago Tribune. Sementara John Henry, pemilik klub bola Liverpool dan klub baseball Red Sox, yang juga owner New England Sport Network, membeli Koran Boston Globe yang sudah eksis 141 tahun.
Bahkan yang dilakukan milyuner Warren Buffett lebih kontroversial. Sampai saat artikel ini dibuat, ia sudah memborong tak kurang 68-an Koran Lokal, melalui transaksi total senilai USD 350-an juta. Dalam jangka 15 bulan terakhir saja, tercatat ada 28 Koran lokal AS diakuisisinya. Termasuk Winston-Salem Journal dan Koran lokal Virginia, Richmond Times-Dispatch.
Tapi yang menggemparkan dan menyita perhatian praktisi media adalah ini: CEO Amazon.Com, Jeff Bezos, membeli Koran the Washington Post pada 5 Agustus 2013 lalu. Pembelian Koran berusia 136 tahun dengan nilai pembelian USD 250 juta ini, seakan-akan menguatkan asumsi: Koran terbukti makin dikalahkan online. Akhir riwayat Koran cuma tinggal sebentar lagi.
Tapi, bisa dipastikan, kelima milyuner tadi, sama seperti puluhan pebisnis AS lainnya yang belakangan ramai-ramai mengakuisisi hampir seratusan Koran Lokal AS, pasti bukan sedang mengambil keputusan bodoh atau ngawur.
Pasti mereka melihat –dan kompetitornya tak menyadari– peluang bisnis luarbiasa dari Koran, yang menjadi motif di balik keputusan men-seriusi bisnis media tradisional, yang di mata awam, riwayatnya segera bakal digilas digital. Ini semacam the untold story of media. Kisah paradoks tentang De-Newspaperization, yang bukan tak mungklin, niscaya terjadi di belahan dunia mana saja.
Sayang baik Chris Huges, Sam Zell, John Henry, maupun Jeff Bezos, enggan merinci alasan sebenarnya di balik akuisisi menggemparkan tadi. Sejumlah analis, cuma bisa berspekulasi, bahwa motif pembelian oleh Jeff Bezos, adalah dengan pertimbangan aspek lokal-lokasi dan kelokalan.
Konon, pebisnis yang dinobatkan sebagai CEO terbaik ke-2 sedunia setelah mantan CEO Apple almarhum Steve Jobs ini, ke depan akan memadukan aspek kompetensinya di Amazon.Com terhadap reputasi Washington Post yang identik dengan jurnalisme serius. Mengkombinasikan aspek credibility-content-customized-commerce-channel-contextuality. Strategi yang melebar sekaligus mendalam, sehingga sulit dilawan.
Tapi ada fakta lain, yang lebih mudah menjelaskan logika Bezos membeli the Washington Post: Bahwa ini adalah Koran bereputasi dengan kredibilitas hebat selama 136 tahun eksistensinya. Terbit di ibukota Washington DC yang pengaruhnya dahsyat. Dan ada di Negara paling Super Power sejagat.
Eksistensinya identik dengan pembongkaran kasus Watergate yang menjungkalkan Presiden Nixon. Koran ini pula, yang dipilih Edward Snowden, untuk membongkar praktik penyadapan via Internet oleh lembaga telik sandi AS, NSA.
Rasanya, yang menyadari betapa powerful-nya pengaruh Koran ini, akan rela harus membelinya, walau semahal apa pun. Uraian lebih rinci, di link sini.
Motif pembelian puluhan Koran Lokal oleh Warren Buffett, lebih jelas: Yakni demi menyelamatkan Koran Lokal yang jurnalismenya berintegritas, untuk mengawal kepentingan lokal.
Kebanyakan Koran yang diakuisisi Buffett orientasi bisnisnya memang melokal. The York News-Times, misalnya tercatat ‘hanya’ punya 3,253 pelanggan per hari. Jackson County Floridan di kawasan Marianna pun, cuma dilanggan 1,000-an keluarga saja.
Yang menarik, Koran-koran lokal tadi bukan dibeli untuk dimatikan. Justru sebaliknya. Motif keputusan Chairman sekaligus CEO kerajaan bisnis Berkshire Hathaway ini, adalah demi menyelamatkan, “jurnalisme hebat dari Koran bermutu”.
Model bisnis yang dikembangkan Buffett: fokus mengelola komunitas. Melalui konten bermutu yang berorientasi ke isu lokal, aspek lokasi dan unsur kelokalan. Dalam istilah Buffett, secara bisnis, aspek itu disebutnya essentially money pits. Salah satu konten andalannya: liputan sport di kalangan siswa SMA. “Berita tentang sport di SMA, adalah pemikat remaja mau kembali baca Koran,’’ ujar Buffett.
Agak kontradiktif, memang. Karena, akibat mengkerutnya pasar Koran, demi dalih bisa survive, banyak pengelola Koran di AS tergoda beralih sepenuhnya ke digital, dan menggratiskan konten yang dimilikinya, via In ternet. Walaupun, untuk tiap USD 16 penurunan pendapatan Koran, hanya dikompensasi USD 1 saja digital revenue. Sangat tak sebanding.
“Berita gratisan (via Internet) tidak akan bisa sustainable,” ujar milyuner yang tetap dandy di usianya yang 81 tahun ini, mengingatkan. Itu tertulis dalam surelnya kepada para editor dan para penerbit seluruh Koran yang bernaung di bawah grup Berkshire.
“Jurnalisme bermutu harus diselamatkan, dari trend serba-gratisan,’’ tegasnya. Menurutnya Koran-koran di AS masih mencatatkan progress signifikan, menuju model bisnis yang lebih masuk akal. “Para Editor harus fokus menjadikan Koran Lokal-nya sangat dibutuhkan komunitas lokal,” Buffett mewanti.
Kaitan Koran lokal yang punya engagement kuat terhadap komunitas, dengan jurnalisme serius yang bermutu, terhadap kemajuan dan kesejahteraan kota-kota di AS, belakangan memang sedang jadi isu penting di negeri Paman Sam itu. Karena terbukti lebih engaging. Ternyata digital media dan social network, entah kenapa, belum bisa menggantikan peran tradisional dari Koran.
Strategi pengelolaan ‘Isu Lokal’ dipilih, berkaitan peran Koran sebagai social control sekaligus penyuara aspirasi Publik Lokal. Ini sekaligus mengkonfirmasi masih pentingnya Koran, sebagai platform percakapan di lingkup komunitas lokal. ‘Aspek Lokasi’, adalah terkait strategi ekosistem: Menjadikan Koran lokal sebagai hub segala urusan di tingkat lokal. Sementara ‘Unsur Kelokalan’, dikelola sebagai elemen diferensiator. Agar Koran Lokal bisa berperan unik, sebagai referensi informasi beraspek kelokalan.
Di kalangan investor media memang ada paradigma fikir baru: Bahwa ternyata bukan format digital yang menjamin media lebih dijamin efektif terbaca. Karena, ternyata ini lebih ke isu tentang kemampuan media –apapun platform, format, medium-nya– memiliki stopping power. Tentang bagaimana mengelola sempitnya waktu audiens bermedia, agar mereka sempat mengkonsumsi content yang sesuai kebutuhannya.
Lebih jauh lagi, ini lebih ke soal bagaimana memunculkan minat audiens atas topik yang disediakan media. Tentang bagaimana media memahami local insight, menyelami readers intention. Sehingga media bisa menyediakan content yang sesuai keinginan dan kebutuhan audiens.
Ini lebih ke isu pengelolaan aspek intensity dan proximity. Tentang potensi kekuatan Lokal, Lokasi, Kelokalan. Dan ini bukan cuma persoalan Koran, print media dan atau traditional media. Ini juga problem sama yang juga dihadapi digital media. Link berikut lebih rinci mengurainya.
Ke depan, Buffett berencana membeli lebih banyak lagi Koran-koran lokal. “….(dengan itu) kita bisa membantu kemajuan kota-kota agar berkembang, dengan mengoptimalkan sense of community yang kuat,’’ tegasnya.
Tak seperti yang dikira, tampaknya De-Newspaperization, justru menjadi awal baru eksistensi Koran ke depan. \Kris Moerwanto
Sumber Ilustrasi: http://ow.ly/osN9o
Tinggalkan Balasan