Sumber Ilustrasi: http://bit.ly/1nxUCNE
Topik tentang Human versus Algorithm makin memanas. Laporan Utama Majalah TIME pekan silam, yang mengulas Infinity Machine, seakan memicu kian maraknya pendapat pro-kontra.
Keberadaan Infinity Machine ini diprediksi bakal mengubah lansekap pengembangan teknologi Nano. Pun mempercanggih data engineering dan advance computation. Tapi keberadaannya tak terlepas dari kontroversi. Misalnya yang menyoal belum jelasnya esensi kegunaan dan fungsinya, bagi kemaslahatan umat manusia. Termasuk ada yang mengkaitkan dengan implikasi bakal musnahnya nurani dan sisi kemanusiawian manusia di masa depan. Problem secara legal, ethical, personal-societal. Gegara nurani kemanusiaan tergusur logika komputer dan mesin robotik. Pun terkait praktik eksesif, penyalahgunaan teknologi pelanggar hak azasi manusia.
Isu Human versus Algorithm, juga sedang jadi percakapan ramai, terkait keputusan Facebook me-launch aplikasi pengagregasi berita, Paper, awal Februari 2014 silam. Peluncuran aplikasi yang baru bisa dijalankan di platform iPhone di pasar AS ini, ternyata adalah ekor dari sukses Facebook yang sejak pungkasan 2013 sukses membuktikan diri sebagai platform untuk social sharing. Bukan sekadar platform pertemanan. Jauh mengungguli Tweeter, Instagram, apalagi Google+.
Ternyata, rahasia sukses Facebook, seperti diurai di posting ini, adalah karena mereka mengkolaborasikan logika algorithm-nya, dengan Editor Manusia. Betul. Manusia betulan, bukan sosok robotik.
Secara kebetulan, di Bioskop sedang diputar film lawas bertema Cyborg, mahkluk separo manusia dan mesin, Robocop. Seperti di film Total Recall, I Robot, atau versi tergres dari film Terminator yang baru edar 2015, skenario dunia yang berubah karena peran Robot yang kian dominan dan mengambil alih peran manusia dan Kemanusiaan, menjadi sentralnya.
Sekadar info, sejak akhir 2013 silam, publik di Amrik sono memang sudah meramaikan makin merajalelanya penggunaan teknologi dan logika algoritma robotik, sebagai ‘senjata’ untuk berbagai keperluan. Mulai di level domestik —menjadi pamungkas peningkatan angka kriminalitas bersenjata, misalnya— hingga dalam rangka, katanya, memberantas terrorisme Global.
Bagi yang percaya, mesin pintar Infinity Machine yang dioperasikan dari dalam ruangan rahasia bersuhu minus 459 derajat Fahrenheit di bawah nol ini, mampu memberikan solusi atas permasalahan kehidupan yang sangat kompleks. Kemampuannya melakukan perhitungan dengan kecepatan dua pangkat 512 secara simultan, disebut-sebut cocok menjadi perangkat andalan, di tengah gunungan Big Data dan banjir inflasi pesan informasi — yang berdampak memperlambat proses pengambilan keputusan, dalam banyak urusan.
Infinity Machine juga diramal bakal berfaedah untuk pengembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligent). Yang implementasinya mencakup bidang militer hingga tugas spionase. Informasi yang dibocorkan Edward Snowden –mantan operative intelijen AS– misalnya, mengungkap korelasi pengembangan mesin Infinity Machine ini dengan aktivitas Lembaga Sandi Negara AS, National Security Agency, NSA. Proyek pengerjaannya disamarkan dengan kode julukan ‘Penetrating Hard Targets Project’.
Menurut TIME, pengembangan mesin yang ditaksir berharga USD 10 juta sebijinya ini, memang disokong berbagai jawatan strategis. Termasuk oleh Badan Antariksa Amerika NASA. Laboratorium pengembangan teknologi militer mutakhir DARPA. Serta dinas intelijen AS, CIA.
Tapi mesin ini juga disebut-sebut berfaedah bagi pelaku industri media-komunikasi-periklanan maupun praktisi pemasaran dan penjualan. Misalnya, terkait dengan konsep hypertargeted atau hyperpersonalized advertising yang sekilas dibahas di posting ini.
Dengan kepintaran logika komputasi kuantum, mesin ini dikatakan mampu menstimulir keinginan belanja konsumen. Karena bisa mengenali, memformulasikan dan lebih mendorong keinginan terdalam yang ada di benak konsumen.
Secara neuro-biologis, ia mampu mempenetrasi alam bawah kesadaran. Sehingga konsumen terfikir pengin membeli sesuatu. Bisa mengkonversi kebutuhan menjadi keinginan. Memacu willingness to pay. Bahkan memicu hasrat untuk lebih sering dan lebih banyak berbelanja. Sehingga bikin dagangan, lebih gampang ludes karena banyak diinginkan dan dicari pembeli. Bukan sekadar laku terjual karena diobral si penjual.
Belajar dari sukses Amazon.Com dan Facebook yang via Paper menjadikan redakturnya yang manusia betulan, sukses bermitra dengan algoritma robotik. Pun belajar dari kisah inspiratif semacam sukses Radio Slacker yang kembali menjadikan Radio Terrestrial diperhitungkan (dan digemari) lagi, tampaknya menu kombinasi Human and Algorithm –bukan saling versus apalagi meniadakan peran satu-sama-lain — harus dipertimbangkan untuk dieksplorasi lebih jauh.
Human Algorithm adalah keniscayaan. Karena, interseksi dan irisan antara data engineering, digital anthropology dan social science ini, tampaknya, lebih pas untuk mengantisipasi kompleksitas hidup kemanusiaan kini dan ke depan.
Pesan moral dari film Robocop, Teknologi, dan robot, sejatinya diciptakan untuk memudahkan kerja manusia. Bukan menjadi ancaman. Apalagi menggantikan. Justru, kehidupan manusia bisa lebih manusiawi, jika manusia bernyali belajar hidup berdampingan dengan Mesin. Mari mencoba. \kris moerwanto
Sumber ilustrasi: http://bit.ly/1b1kBN3
Tinggalkan Balasan