Sumber ilustrasi: http://bit.ly/1u13TzZ
“Our world is a place where information can behave like human genes, and ideas can replicate, mutate and evolve – James Gleick Writer at Smithsonian Magazine”
Pernahkah terpikir, kenapa ada film bisa meledak hingga tercatat sebagai Box Office? Kenapa film lainnya kok justru melempem? Kenapa ada Buku atau Novel jadi best Seller, padahal lainnya flop? Kenapa ada penyanyi yang lagunya bisa sangat populer. Bahkan awet dan tetap disukai hingga beberapa generasi. Sementara, lagu lainnya cepat ngetop, tapi lekas pula dilupakan?
Ternyata hal tersebut bukan sekadar perkara mutu konten. Konon, popularitas itu terkait ‘rumus’ Darwinian factors.
Lepas dari pro-kontra kebenaran Teori Evolusi yang antara lain dipopulerkan oleh Charles Darwin, konon ada empat faktor dari teori tersebut, yang dianggap menjadi pakem dasar, pembentuk model narasi, agar film, syair, lagu, atau produk kebudayaan lainnya, bisa ‘meledak’ di pasaran. Yaitu: survival factor, reproduction, kin selection dan reciprocal altruism. Semakin skenario film, kisah dalam syair lagu atau plot cerita di Novel atau Buku disusun dengan menyesuaikan Darwinian Factors tadi, makin besar pula peluangnya bisa sukses secara bisnis.
Cuma itu faktor penentunya? Tidak juga. Ternyata masih ada faktor lainnya. Bahkan, yang ini lebih kritis sifatnya: Kemampuan produk karya kultural tadi, menjadikan dirinya sebagai Meme:
Yakni ‘sesuatu yang dibicarakan’, ditiru, menginspirasi dan ngajak mikir. Juga menular, menginfeksi, dan bikin kecanduan. Bisa dimodifikasi menjadi kemasan pesan/ide baru yang berbeda.
Kisah mengharukan di balik acara reality show yang menampilkan Batkid yang terinspirasi legenda Batman misalnya, bisa memberi persepektif atas hal tersebut. Bahkan Presiden AS Barack Obama pun sampai ikut mengomentari! Singgahi juga link videonya yang memotivasi, di sini.
Replikator: Penentu Meme Sukses Mewabah
Periset laboratorium Neuroscience di Concordia University dan Aalto University di Finlandia menemukan fakta, bahwa kemampuan daya tular Meme, ternyata dipengaruhi tiga hal. Ketiganya diistilahkan sebagai Replikator.
Replikator yang pertama, berupa faktor budaya dan adat istiadat setempat yang kondusif. Ini terkait ada-tidaknya bagian dari ide/konten, yang secara nilai, sesuai untuk disebar-luaskan, karena tidak bertentangan dengan adat-istiadat budaya setempat.
Kemudian, Replikator kedua, yakni ketersediaan sarana penyebarluasannya. Meliputi antara lain, bahasa percakapan. Kisah yang diceritakan. Simbol pemersatu. Serta perilaku suka menirukan sikap dan tindakan orang lain. Ini terkait daya faedah yang dirasakan publik, usai mengkonsumsi konten Meme.
Sementara replikator ketiga, adalah terkait daya fikir dan logika, di benak audiens. Diistilahkan technological-meme (disingkat Teme). Yakni efek penyebar-luasan Meme via produk hasil logika, pemikiran dan kerja otak. Termasuk yang berupa karya tulisan, maupun produk cetak, atau konten tayangan. Pun yang disebarkan via email, SMS, chat/instant messaging. Juga Blog, web page links atau sarana digital lainnya.
Faktor dan peran third replicator inilah, yang sesungguhnya jadi kunci penentu, agar Meme bisa lekas berpindah dari satu otak ke otak lain. Dari seseorang, menulari orang lain. Kemudian menyebar dan mewabah di masyarakat, dalam waktu singkat.
Meme (dilafalkan seperti ketika mengucap ‘Team’), seperti sama diketahui, adalah simbol kebudayaan kontemporer. Definisi asli Meme, yang berasal dari istilah Yunani kuno yakni μίμημα yang dilafalkan mīmēma, adalah bermakna: ‘Sesuatu yang ditirukan’.
Ia bisa berupa ide, sikap, pendapat, kritik, atau banyolan. Pun bisa berupa Icon, penemuan atau invention. Hingga fashion dan trend. Cara berpakaian, resep atau tips. Ia menyebar secara sosial. Menular tanpa tercegah. Menjalar tanpa bisa dibendung.
Kebanyakan Meme identik dengan gambar/foto dan atau produk hasil olahan photoshop. Umumnya bertema humor –-karena ini kemasan yang paling mudah bisa menjangkau dan memikat perhatian banyak kalangan, untuk ikut menyerbar-luaskannya berulang-ulang. Makanya, sekadar banyolan ringan, cerita legenda, kelucuan dan keanehan perilaku/fisik seseorang atau sesuatu, pun juga bisa menjelma menjadi Meme yang sukses.
Tapi Meme juga bisa berwujud video, lagu, atau kartun, karikatur atau animasi komik. Apalagi, Komik dan Karikatur, punya keunggulan istimewa dalam hal persuasi dan sugesti, seperti yang dibahas di posting sebelumnya. Makanya, pesan yang dibawa Meme bisa berupa hal ringan sampai urusan yang serius. Termasuk topik yang memprovokasi fikiran. Seperti pernyataan protes dan gugatan, ide filosofis, serta eksplorasi kuriositas.
Meme sebagai Parasit dan ‘Penyakit’ Otak
Penyebaran dan penularan Meme bisa terjadi secara horizontal: Dengan menginfeksi lingkungan sesama, via pengaruh peers atau kelompok sekepentingan. Biasanya tersebar menunggangi media informasi dan hiburan bersifat masal. Seperti TV, radio, bioskop, media sosial dan seterusnya.
Tapi Meme juga bisa menyebar secara vertikal. Termasuk yang dibawa oleh budaya, adat-istiadat, tradisi, kebiasaan, dialektika, atau bahasa, yang diwariskan dari satu ke lain generasi.
Bahasa, sebagai alat pengantar Meme (termasuk bahasa simbol dan makna tersirat di dalamnya) sebenarnya tak otomatis menjamin Meme pasti sukses tersebar. Karena, walau digunakan dalam percakapan, secara naluriah ‘nilai baru’ yang dibawa oleh Bahasa, dianalogikan sebagai parasit atau wabah penyakit, yang harus dihindari.
Biasanya, di tahap awal, otak dan tubuh akan mempersepsi ‘nilai baru’ yang dibawa Bahasa tadi, sebagai ancaman yang harus ditangkal dan ditolak. Tapi semakin parasit tersebut menginfeksi benak seseorang/sekelompok orang, terjadilah adaptasi. Ada proses akulturasi. Sedemikian rupa, sehingga akhirnya tercipta simbiosis mutualistik (keadaan saling menguntungkan antarpihak terkait).
Pada saat situasi-kondisi itu tercapai, maka melalui Bahasa pengantar, ide, informasi, desain, bentuk, atau karya, siap direplikasi. Diperbanyak, ditularkan, menjangkiti dan menginfeksi replikator lainnya.
Meme yang baik, mampu menyelinap ke dalam tulisan, pidato, gestures, lambang, simbol, sampai ritual atau fenomena pengimitasi pesan lainnya.
Ia mampu menembus sekat budaya, bahasa, keyakinan. Bersifat lintas bangsa, usia, ras bahkan orientasi pilihan politik. Menginfeksi fikiran. Menjadi parasit yang menjangkiti tanpa tersadari. Dan berdampak mengubah sikap/perilaku ‘sang inang’ (host), dengan menjadikannya sebagai sumber penyebar dan penular, kepada orang berbeda.
Secara naluriah, masing-masing dari kita memang punya kecenderungan suka bergosip: Memperbanyak, meng-copy, menyalin, menggandakan, dan menyebarluaskan konten dengan kriteria tertentu. Misalnya yang kita anggap ‘menarik’, atau ‘berguna’.Yang ‘keren’, ‘seru’ bikin penyebarnya makin eksis, dan seterusnya.
Baik itu konten ‘asli’, atau yang telah kita ‘bumbui’ aspek tambahan yang (menurut kita) lebih membuat pihak lain berminat dan terpikat menyebar-luaskannya lebih lanjut.
Sementara yang kita anggap ‘buruk, ‘tak berguna’, ‘tidak keren’, kita cuekin. Tidak kita anggap sebagai Meme penting.
Nah, untuk memastikan daya penyebaran Meme bisa engaging, dan berlangsung konsisten atau berkelanjutan, tiga prinsip teori evolusi harus dipenuhi: Yakni aspek Seleksi, Variasi dan Hereditas.
Aspek Selection penting, karena di lansekap yang gaduh, di antara beragam konten yang berserakan, hanya bagian yang termenarik saja, yang akan terseleksi: berpeluang diimitasi, dimodifikasi dan disebar-luaskan sebagai Meme. Sedangkan Variation, adalah terkait kecocokan ragam jenis konten Meme, terhadap aspirasi audiens. Makin tak relevan dan tak sesuai aspirasi, makin konten Meme sulit menyebar.
Sementara Hereditas, adalah faktor kemampuan Meme untuk berkembang dan didiversifikasi secara turun-temurun. Karena Meme idealnya harus mudah diolah atau dimodifikasi ulang. Sehingga bisa menjadi informasi baru yang –secara konten, substansi, maupun format– maknanya bisa samasekali berbeda dibanding awalnya.
Teori Evolusi dan Revolusi Konsumen
Selain aspek yang didiskusikan di atas, sebenarnya masih ada beberapa aspek lain, yang turut mempengaruhi sukses-tidaknya suatu film menjadi box office. Pun menjadikan Buku, Novel, atau lainnya, berpeluang jadi best seller.
Karena studi di Concordia University menyimpulkan, bahwa kunci sukses film, lagu, buku, karya seni dan atau produk kebudayaan lain, berkorelasi erat dengan fenomena evolusi dan revolusi konsumen.
Bahkan periset di Aalto University di Finlandia menyimpulkan, bahwa dengan teknik tertentu, konten Meme pada film, lagu, atau buku, efeknya mampu mensikronisasi (baca: mendikte) kerja otak sejumlah orang. Sehingga ‘sukses’ tidaknya film atau lagu misalnya, sebenarnya bisa dirancang sejak awal.
Tapi, berbagai topik tadi, seperti juga temuan menarik lainnya tentang korelasi antara gerakan mata, efek visual attention, pengaruh pesan subliminal, dan dampaknya terhadap respons sinyal di bagian visual cortex dan prefrontal cortex dari otak, rasanya lebih pas, jika dibahas di posting berikutnya saja. \kris moerwanto
Tinggalkan Balasan