Sumber ilustrasi http://bit.ly/1vKwniu
We’ve got to make sure that as the public dissatisfaction grows, it doesn’t grow the wrong way, towards censorship that says, ‘Stop this. Stop that.’ We want a public that is more aware about what quality journalism means to them and their lives and what they’ve got a right to expect and how to recognize it.” – Bill Covach, director of the Project for Excellence in Journalism, writer of ‘The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect’.”
Hari-hari ini, hampir 24 jam sehari-semalam, seluruh media, sumber dan channel berita, menyediakan menu serupa: tentang perkembangan menit per menit, kejadian per kejadian, seputar musibah AirAsia nomor penerbangan QZ8501 rute Surabaya-Singapura. Sangat disayangkan, di tengah gegap gempita pemberitaan media dengan kerja luarbiasanya, terselip kritik, teguran, protes bahkan kecaman.
Misalnya menyoal gaya reportase media yang dinilai hanya mengekploitasi kesedihan. Atau reporter yang terkesan terlalu mem-push untuk mendapat komentar. Berkeras mewawancarai keluarga korban yang sedang berduka. Pun tentang pemberitaan yang tendensius dan mengeksploitir. Atau menelanjangi, mendiskreditkan bahkan menghakimi pihak tertentu.Padahal data black box untuk mengungkap penyebab pasti musibah tadi, bahkan belum dikaji. Lantas membandingkannya dengan strategi pemberitaan media asing atas liputan kejadian peristiwa, musibah dan bencana.
Suara sumbang juga menyoroti reportase media yang seperti sekadar meng-update angka statistik atas jumlah korban yang ditemukan saja. Atau tentang arah pemberitaan yang dinilai justru makin memperkeruh situasi. Termasuk misalnya kelewat menggaduhkan soal standard operating procedure –SOP, dan hal-hal yang sekadar administratif, ketimbang ikut andil membenahi akar masalah manajemen keselamatan angkutan udara.
Nahasnya, banyak narasumber, pengamat dan pakar, yang seakan ‘pengin tampil’. Memanfaatkan musibah ini sebagai ‘panggung’. Sambil memojokkan dan mendiskreditkan pihak tertentu. Menggiring opini publik ke arah kesimpulan tertentu.
Tak pelak, ketika garis antara warga dan wartawan menjadi sangat samar, berbagai gugatan dan pertanyaan pun mencuat: Kenapa kok gaya reportase media seperti itu? Apa motivasinya? Siapa yang diuntungkan? Bagaimana menentukan mana berita yang bisa dipercaya? Bagaimana cara membedakan antara rumor dan fakta (atau opini) yang bisa menjadi sumber referensi?
Ada beberapa renungan sederhana, yang bisa dijadikan bahan introspeksi bersama, atas kritik yang menyoal gaya reportase media terkait musibah AirAsia tadi. Terkait obyektivitas, kredibilitas dan iktikad pemberitaan media, secara jurnalistik, awak media, reporter, dan penanggungjawab konten yang dipublikasikan, idealnya memang harus tetap cermat mengantisipasi hal-hal berikut:
Berita bukan folks wisdom: Berbagai buku bacaan wajib bagi jurnalis sudah mengingatkan. Bahwa yang menjadi pendapat bersama yang dipercaya di masyarakat (folks wisdom), tak selalu simetris dengan pendapat dan versi kebenaran berita Media. Sehingga berlebihan, jika media terkesan sedemikian sangat berharap, yang diberitakannya seakan harus menjadi yang dipercaya publik. Jangan-jangan, yang diberitakan sebenarnya hanya menguntungkan Media yang memberitakannya. Padahal tak relevan dan tak dibutuhkan pemirsanya.
Fakta, Realita dan Kebenaran bisa saling berbeda: Awak media, penanggung jawab konten dan kebijakan pemberitaan, harus tetap ingat, bahwa antara ‘Fakta’, ‘Realita’ dan ‘Kebenaran’, di lapangan bisa saling berbeda maknanya. Yang disebut ‘Fakta’, bisa hanya kesan dan persepsi subyektif.
Begitu pun, kalau yang disangka ‘Realita’ kejadian ternyata adalah kepentingan dan versi kebenaran tertentu, maka bisa menyesatkan. Bahkan bisa berbahaya, jika yang dianggap ‘Kebenaran’, ternyata adalah versi seseorang/kelompok kepentingan tertentu saja.
Faktor pemilihan Narasumber layak dikritisi: Faktanya, kualifikasi dan kapasitas Narasumber sangat bertingkat-tingkat. Mulai dari saksi mata yang menyaksikan sendiri peristiwa. Sekadar ‘peserta’ (termasuk petugas pelaksana atau penyelidik/investigator) yang ikut/terlibat dalam peristiwa. Atau Sumber yang cuma kebetulan saja ada di lokasi kejadian. Ada pula juru bicara.
Karena ada bedanya antara pendapat pengamat/pakar terhadap opini pelaku/korban. Seperti juga ada bedanya antara orang yang benar-benar melihat dan menyaksikan sendiri peristiwa yang diceritakannya. Terhadap yang sekadar mendengar cerita dan diberitahu orang lain, tapi ngebet tampil di TV dan ingin dikesankan ‘pintar’ dan ‘banyak tahu’ –padahal tak ikut ada di tempat kejadian, ketika peristiwa sedang terjadi. Beda lagi dengan juru bicara, yang diasumsikan tahu tentang sesuatu, karena sebelumnya memang sudah diberitahu (di-briefing) pihak lain yang lebih tahu, dan lebih dekat terlibat dibanding sang jubir.
Waspadai simplifikasi, diskriminasi dan pengabaian yang apriori: Narasumber idealnya memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarangan, sekadar karena yang bersangkutan mengaku adalah saksi mata. Bukan pula seketemunya orang,yang ada di dekat sang reporter.
Bayangkan, betapa distorsinya klaim ‘Kebenaran’ dan ‘Fakta’ atau ‘Realita’, jika media secara ceroboh memberi kesempatan terjadinya simplifikasi, diskriminasi, bahkan pengabaian fakta renik, secara apriori.
Apa jadinya jika media tak menyadari konsekuensi dari memilih secara diskriminatif siapa narasumbernya. Lantas tak menyadari telah mengontrol alur penjelasan sumber –demi dalih durasi atau memang karena sesuai agenda setting tertentu. Atau tak menyadari telah menjalankan yang disebut jurnalisme affirmatif, framing dan menggiring: Sekadar mencari pembenaran atas orientasi sepihak. Sudah menyimpulkan sebelum suatu topik dikaji tuntas.
Mengkritisi kapasitas sumber berita: Jika narasumbernya itu-itu melulu, masuk akal jika audiens mempertanyakan obyektivitas pendapat media. Jika narasumbernya kebanyakan pengamat, pakar atau analis (bukan otoritas atau sumber di ‘lingkaran pertama’ dari peristiwa), wajar jika audiens curiga ada agenda setting.
Karena secara jurnalistik, konsumen media punya hak dan memang harus mempertanyakan: Kenapa harus orang-orang tertentu yang jadi Narasumber? Kenapa sumbernya harus selalu dia? Tidak adakah sumber lainnya yang lebih mumpuni? Misalnya, yang lebih dekat dan lebih terlibat langsung dengan peristiwa? Kenapa kita harus selalu percaya yang dikatakannya?
Jangan-jangan ada problem Media di lapangan: Narasumber dipilih karena ‘mudah dihubungi’ di waktu yang mendesak. Padahal, bisa saja pendapat sang Narasumber ternyata bermotif agenda/kepentingan tertentu. Sementara Narasumber yang lebih berkompeten, pelit bicara, tak mau atau tak boleh diwawancarai.
Berita, berbeda dengan Analisis tak boleh bercampur Opini: Faktanya tak setiap yang dikatakan analis, pengamat atau pakar, adalah ‘Kebenaran’ yang terverifikasi. Media dituntut harus tetap cermat menyadari, bahwa yang dijelaskan sang Narasumber tadi, boleh jadi, hanya analisis, opini bahkan curhat pribadi. Dan itu berarti, tidak memenuhi kualifikasi dan kriteria disebut ‘Fakta’, ‘Realita’, apalagi ‘Kebenaran’. Karena, yang dijelaskannya bukan hasil audit. Tidak merujuk evaluasi. Bukan pula temuan investigasi mendalam, atas kejadian peristiwa. Sehingga, jika yang dikatakan Narasumber lantas dijadikan ‘acuan’ –hanya karena analisis/teorinya disampaikan sangat meyakinkan– bisa berpotensi menyesatkan kesimpulan oleh publik.
Pemberitaan yang sekadar cepet-cepetan, merugikan diri sendiri: Lebih cepat mendapat bahan pemberitaan dibanding lainnya, memang ideal bagi kepentingan Media. Tapi tidak cermat menguji kebenaran yang akan diberitakannya, justru berpotensi menimbulkan chaotic bahkan panik.
Toh sudah jadi hukum alam, yang serba instant, disiapkan cepet-cepetan, biasanya identik dengan rumor, asumsi, praduga yang sifatnya hanya sepihak. Sifatnya cenderung bias, distorted. Karena tidak/belum verified. Bisa saja cuma sekadar opini, interpretasi, atau persepsi yang sifatnya subyektif. Mengandung muatan kepentingan.
Meliput harus menjadikan lebih jelas: Secara jurnalistik, reportase sesungguhnya adalah kisah penjelasan. Maknanya, menjadikan lebih jelas yang awalnya rumit. Maka, agar menjadi jelas, sang reporter dituntut paham dan bisa menceritakannya secara sistematis, runtut, logis. Sehingga orang lain ikut menjadi paham.
Masalahnya, (ternyata) tak setiap reporter paham ‘Kebenaran’ yang dimaksud. Makanya ada pertanyaan: Sudahkan reporter memberi kesempatan kepada ‘Kebenaran’ untuk terungkap? Sudahkan sang reporter mengupayakannya agar itu terungkap gamblang?
Liputan atau reportase, bukan mengeksploitasi: Mewawancarai’ iktikadnya beda dengan ‘mengeksploitasi’. Apalagi sampai memojokkan dan mendiskreditkan pihak tertentu. Tendensi makin blur-nya reportage dengan re-packaging, bisa menggelincirkan media ke hal yang sekadar rame, sensasional, tapi logikanya banal, kualitasnya pun abal-abal. Kerja indepth/investigative reporting, lebih pas jika memang tujuannya menggali ‘fakta di balik berita’.
Sangat tak adil jika reportase dilakukan karena beriktikad ‘menelanjangi.’ Tentu menyesatkan, jika reporter memerankan dirinya sebagai interogator, jaksa sekaligus hakim.
Itu melampaui kewenangan dan kapasitasnya: mengadili nasib orang lain menggunakan tolok ukur sumir, keterbatasan kapasitas dan logika analisa yang simplistik, bahkan –jangan-jangan– keliru secara logika.
Awas, audiens yang kritis makin paham beda makna ‘Signifikansi’ dan ‘Konotasi’: Walau sekilas sepele, kesalahan pemilihan istilah saat reportase, bisa berakibat terjadi bias atau distorsi substansi. Makna harfiah/signifikansi dari ‘investigasi’ misalnya, secara denotatif bernuansa beda dibanding terminologi ‘audit’. Begitu pun, ‘pembekuan rute’ bermakna beda secara administratif dan temporal, terhadap istilah ‘penutupan jalur’ yang konotasinya berkonsekuensi penjatuhan sanksi.
Yang harus diwaspadai, jangan sampai penggunaan istilah salah tadi, bukan sekadar kecerobohan. Tapi bermotif tendensius demi agenda kepentingan pihak-pihak tertentu.
Di tengah gaduh, yang tak diceritakan, justru yang lebih harus diperhatikan: Dalam perkembangannya, keredaksian Media juga sudah mengalami pergeseran. Kini, context is new content. Yang harus lebih dicermati bukan sekadar apa yang jadi news, tapi bagian mana yang menjadi emphasis-nya. Karena mungkin justru yang tak diungkapkan, yang lebih menentukan. Karena yang berdampak mengubah keadaan, bukan yang diberitakan media. Tapi bagian tertentu dari keseluruhan berita, yang diperhatikan oleh audiens.
Menyadari makna substantif dari protes keluarga korban: Pemedia dituntut menyadari, bersimpati dan berempati, bahwa tak semua bagian dari kejadian yang terpublikasi luas, berarti boleh dan bisa dipublikasikan. Upaya luarbiasa reporter, yang mengejar-ngejar narasumber demi mendapatkan sepotong komentar/statement, malah bisa bikin blunder.
Bagaimana pun, tetap ada batas yang pejal, antara hak narasumber agar ruang privacy-nya tidak dilanggar dan dimasuki. Terhadap hak wartawan untuk meminta pertanyaannya dijawab.
Pertanyaan klasik reporter: “Bisakah diceritakan ulang bagaimana kejadiannya?”, “Bagaimana perasaan Bapak/Ibu/saudara saat ini?”, “Adakah firasat sebelum kejadian?”, “Sudahkan menerima bantuan?”, bahkan “Apa keinginan harapan yang ingin disampaikan kepada Pemerintah”, harus dikritisi ulang apakah masih urgen? Berfaedah mencerdaskan audienskah?
What’s Next?: Nanti setelah rangkaian liputan AirAsia QZ8501 kelak mencapai kulminasinya; atau setelah isu/top[ik tersebut kelak sudah tak dianggap seksi lagi oleh awak media; apakah pemirsa/audiens akan mendapat manfaat dari gaya reportase seperti di atas? Apakah itu berfaedah menjadikan pemirsa menjadi lebih kritis? Lebih berwawasan dan punya posisi tawar lebih baik? Ini harus menjadi renungan introspektif praktisi media.
Cara sederhana agar audiens terampil bermedia dengan lebih mawas diri
Demi bisa sehat bermedia di tengah lansekap yang turbulen dan bunyinya kian gaduh, audiens mutlak terampil bersikap tak mudah percaya, atas informasi apa saja yang didengarnya. Caranya dengan terus melatih ber-skeptical knowing: Paham alasan kenapa tak boleh mudah percaya. Pun tahu bagaimana cara menguji kebenaran informasi.
Beberapa pertanyaan berikut, sifatnya self assessment. Bisa digunakan berlatih agar audiens semakin kritis, terampil dan lebih sehat bermedia: Yakni dengan mempertanyakan….
- Konten jenis apa yang saya sedang pirsa, baca dan konsumsi? Layak dikonsumsikah?
- Apakah informasinya lengkap? Jika kurang, apanya yang kurang?
- Siapa sumber informasinya? Apa kriteria kapasitas/kapabilitasnya? Kenapa musti percaya padanya?
- Bukti pendukung apa yang disampaikan? Apakah bukti tersebut telah dipilah, diuji, diverifikasi?
- Adakah opsi penjelasan, pemahaman, makna ganda/ambigu, dari yang dijelaskan sumber?
- Apakah ada pelajaran yang bisa kita ambil, dan perlu kita ketahui?
Semakin audiens terampil mengkritisi media, semakin semua stakeholder diuntungkan. Media pun termotivasi bekerja lebih cermat dan tidak ngasal. Sebaliknya, ketidak-dewasaan dan ketidak-intelektualan audiens, berpotensi menjerumuskan.
Padahal tugas media bukan sekadar mereportase peristiwa –bukan pokoknya memberitakannya; bukan pokoknya menang dalam pertandingan adu cepat terhadap media lainnya; tanpa peduli dampak setelah berita diberitakan.
Padahal media harusnya membantu audiens secara obyektif menemukan cara, metoda baru, untuk menjelaskan suatu fenomena yang kompleks, menjadi ide yang bermanfaat, ke depan. Pun menemukan makna dan konteks yang lebih besar, dari tiap kejadian peristiwa. Baik secara budaya, adat-istiadat, maupun implikasinya dalam kisah sejarah.
Mudah-mudahan tak makin banyak yang lupa, bahwa terkait kejadian peristiwa, yang penting bukan apa yang diberitakan media. Melainkan apa dampak yang ditimbulkannya, setelah diberitakan media. Karena yang memicu dampak bukan yang diberitakan, tapi yang audiens perhatikan.
Mungkin ini momentum yang tepat untuk segenap praktisi media berintrospeksi: Apakah peran media sudah didasari iktikad mereportase demi tujuan mendapat hasil akhir yang berguna bagi stakeholder?
Sudahkah media turut membantu memulihkan kerusakan yang ditimbulkan? Atau, seperti yang ditudingkan, media tanpa sadar, justru turut andil memperkeruh situasi? Hanya sekadar menciptakan panggung bagi pihak berkepentingan, dan menjadikan kemalangan dan kesedihan sebagai komoditi jualan? Atau bahkan mengeksploitasi tragedi sebagai cara meraih rating tinggi, sekaligus mengeruk omzet iklan? Masya Allah.
Di tengah euphoria perkembangan new media –ketika apa saja makin menjelma menjadi media dan reporternya bisa siapa saja tanpa dipersyaratkan berkriteria dan berkualifikasi spesifik– diyakini bahwa elemen jurnalisme tetap relevan bahkan makin dibutuhkan: tentang independensi; verifikasi; setia kepada kepentingan publik –bukan kepentingan politik, kelompok/korporasi; berdedikasi; menimbang obyektivitas kejadian –walau obyektif tak otomatis bermakna harus netral; tidak memaksakan kehendak.
Begitu pun Kode Etik Jurnalistik, harus tetap jadi pedoman bermedia. Bagaimana pun, mencari kebenaran dan informasi terpercaya masih merupakan tujuan terpenting jurnalisme, serta motivasi audiens yang mengkonsumsi Media.
Apalagi, dalam perkembangannya, media punya peran, fungsi, dan tugasnya yang baru. Bukan sekadar pokoknya memberitakan. Tidak boleh membiarkan dirinya dimanfaatkan sebagai panggung kepentingan tertentu. Karena Media adalah jelmaan new participatory system and collaborative platform.
Konsekuensinya, Media yang baik, adalah yang memberi kesempatan audiens teribat, bahkan ikut mengontrol yang dilakukannya. Bukan yang sekadar bekerja sepihak, menuruti agenda kepentingannya sendiri atau kelompoknya. Bukan sekadar yang sanggup bertubi-tubi menyuapi audiens dengan informasi fabrikasi, dan memaksa audiens percaya dengan klaim ‘versi kebenaran’ dari segala yang diberitakannya.
Bagaimana pun, verified content, tetap yang paling powerful. Bagaimana pun, penentu pesan bisa delivered, adalah reputasi media yang mengabarkannya. Sebab, makna peristiwa bukan pada apa-kenapa-bagaimana urutan kejadiannya. Tapi pada pelajaran apa yang bisa dipetik, ketika peristiwa tadi, sudah lama berhenti terjadi. \kris moerwanto
Betul sekali mas Kris,,bagi yang awam suguhan demi suguhan update news tentang AA sungguh hampir tiap saat ada di layar kaca. Harus pandai pandai memilih siaran. Kalau aku sih jujur aja cuma dua TV yg selalu kutonton Blomberg TV sama NHK,,,kalau tak diseleksi bisa bisa otak isinya cuma berita soal pesawat,,he he