Sumber ilustrasi: http://bit.ly/1LGbGin
“We’re about to witness the death of the internet. It will be the end of the Internet as we know it.” – L. Gordon Crovitz, Journalist of the Wall Street Journal
Siapa yang berencana membunuh Internet? Apakah para pejabat berwenang yang merasa kepentingannya terancam? Para Birokrat yang tak paham masalah dan lebih mengedepankan agenda pribadi/kelompoknya? Kepentingan Militer dan intelijen yang sejak lama ingin mengendalikan Internet? Para penyedia konten yang berambisi mendominasi saluran akses? Para perusahaan penyedia jasa Internet yang ‘menjaga gerbang’ akses? Atau jangan-jangan masyarakat pengguna Internet sendiri?
Menyimak alotnya perdebatan tentang isu (Inter)Net Neutrality di Amerika Serikat selama beberapa tahun terakhir, tampaknya sikap diam, tak peduli dan ketidak-mengertian publik tentang hak-haknya sebagai pengguna jasa Internet, ternyata bisa mempercepat Internet terbunuh mati. Modusnya, dengan sengaja menyesatkan pengguna Internet. Sehingga tak benar-benar mengerti apa yang disokongnya.
“Put simply, President Obama’s plan to regulate the Internet is not the solution to a problem,” ujar Ajit Pai, salah satu komisioner Federal Communications Commision, FCC. “His plan is the problem,” imbuh Senator penentang Net Neutrality dari Partai Republik ini.
Tapi akhirnya, melalui voting di antara para komisioner FCC pada Kamis 26 Februari 2015 kemarin, dokumen kontroversial tentang Net Neutrality itu, resmi disahkan sebagai perundangan Amerika. Maka pengelolaan Internet di Amerika, sejak itu resmi dikontrol oleh Pemerintah. Isi ketentuan baru itu, mengatur kewenangan Internet Service Provider (ISP), dalam mengelola konten dan informasi yang diakses publik.
Walau kita ada di Indonesia, tak ada ruginya kita juga paham apa yang sebenarnya sedang terjadi di Negeri Paman Sam itu. Demi mengantisipasi, agar jika modus, siasat, dan muslihat seperti ini akan diberlakukan di sini, kita bisa proporsif menyikapi. Apalagi, ada bisik-bisik, tak cuma mengendalikan Internet, cakupan aturan baru ini sedang siap-siap diadopsi berbagai pihak, untuk mengontrol industri berbasis wired maupun wireless, termasuk industri telepon seluler.
Apa itu Net Neutrality, silakan tinjau di sini. Sementara versi visual dari salah satu versi konsepnya, tergambar di link video ini
Tentu saja, mayoritas pengguna Internet, pun kelompok pro-konsumen dan pembela hak-hak publik di sana, menyambut gembira hasil voting tersebut. Disahkannya aturan baru Net Neutrality ini, disebut-sebut sebagai ‘Kemenangan Besar’ kaum Libertarian. Perjuangan sekian tahun untuk menjaga Internet tetap terbuka, bebas, setara dan tak didominasi kekuatan perusak Demokrasi, dianggap telah berhasil mencapai kemenangan terbesar dan bersejarah. Sokongan beberapa raksasa Internet –termasuk di antaranya Google, Twitter, Facebook, Netflix serta Amazon– turut andil mempermudah lolosnya aturan Net Neutrality ini.
Tapi belakangan para analis sadar. Seperti pepatah bijak bilang, di era penyesatan, tak ada segala sesuatu yang seperti tampaknya. Begitu pun disahkannya perundangan tentang Net Neutrality dan atau Internet Openess Policy itu. Ternyata, jika dicermati detil, dokumen rahasia pengelolaan Internet di Amerika tadi, diduga berisi banyak kejanggalan dan potensi masalah yang bisa meledak di kemudian hari.
MISTERI ISI PERATURAN: PUBLIK SENGAJA DISESATKAN?
Di Amerika, ihwal pengontrolan tata kelola Internet memang disoroti publik ramai. Maklum, Internet sudah jadi kebutuhan hidup keseharian publik di sana. Bukan lagi barang mewah yang penggunaannya eksklusif. Internet memberikan akses sehingga publik –secara demokratis– bisa terdengar aspirasinya. Bahkan menjanjikan kesetaraan potensi di tengah maraknya digital economy.
Tapi rupanya banyak yang terlambat menyadari. Bahwa selama bertahun-tahun, topik kebebasan dan keterbukaan Internet yang disebarluaskan dan diperdebatkan, sengaja disesatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Nahasnya, kalangan awam, kebanyakan tak merasa jadi korban. Tak sadar fokus perhatian mereka dialihkan.Terdistraksi dari inti substansi. Sengaja dibikin agar tidak benar-benar paham apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Kebanyakan awam tak sadar sedang tak mengerti, atau tak peduli. Bahkan dibuat suasana agar mereka cenderung memilih diam saja. Sekadar mengikuti arus mainstream. Mendukung suara terbanyak di publik. Bahkan bersikap ikut-ikutan saja. Karena cuma bisa menangkap isu di permukaannya saja –yang sengaja dikemas menyesatkan, demi supaya regulasi tersebut mendapat dukungan luas. Fenomena ini persis seperti yang dikupas di posting ini.
Dan itulah yang terjadi. Pada saat diadakan voting Kamis kemarin, mayoritas elemen masyarakat dan publik pengguna Internet, dikondisikan agar ramai-ramai bersetuju. Bahkan memberikan applause atas hasil voting FCC. Padahal, tak ada yang benar-benar tahu, apa substansi isi dan konsekuensi dari ketentuan pengaturan Internet yang mereka dukung dan sahkan tadi.
BEBERAPA DUGAAN SALAH KAPRAH ITU…..
Banyak kalangan masih keukeuh berpendapat, bahwa lolosnya aturan Net Neutrality, bermakna Internet bebas dari kontrol, alias tak diawas-awasi. Karena dalam kampanye propagandanya, ide yang ’dijual’ memang bunyinya begitu: Dikatakan, bahwa Net Neutrality adalah identik perjuangan agar Internet tetap menjamin perlakuan yang setara, serta aksesnya bebas dan terbuka, bagi siapa saja. Tak heran, banyak awam yang menyokongnya.
Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan disahkannya ketentuan Net Neutrality, justru kini, mesyarakat –tanpa sadar– telah ‘menyerahkan’ Internet ke dalam genggaman regulasi ketat otoritas.
Sebelum voting berlangsung, memang berkembang kekhawatiran publik, bahwa tanpa Net Neutrality, masa depan Internet akan tak berketentuan. Bahkan Internet terancam terbunuh mati. Faktanya, seperti ditulis di posting ini, justru dengan diketati regulasi, Internet justru berpotensi lebih cepat mati 😦
Otoritas di Amerika berdalih, Net Neutrality perlu diamankan, demi menjamin hak azasi penggunanya. Pun menjamin kebebasan warga dari pembedaan perlakuan oleh raksasa perusahaan penyedia jasa Internet. Karena ISP dicurigai beriktikad mendiskriminasi hak akses konsumen: Hanya pengguna yang mau bayar beaya tambahan saja, yang aksesnya akan digenjot, ke jalur cepat (fast lane). Sementara yang tak bersedia atau tak mampu bayar, harus pasrah menerima nasib: Akses Internetnya lemot, karena harus antre di slow lane.
Tapi, bukannya Internet menjadi tetap bebas dan terbuka, via pengesahan aturan Net Neutrality tadi, justru kini otoritas dan pihak-pihak berkepentingan, secara hukum, dibenarkan turut campur tangan mengurusi kontrol Internet bagi publik. Makanya, beberapa analis kritis mengistilahkan, lolosnya Net Neutrality, adalah contoh campur tangan pemerintah yang terburuk. Potensi kerusakan yang ditimbulkan, dianggap serupa efek negatif yang ditimbulkan Obama-Care. Hanya saja, kali ini yang dirugikan, industri Internet.
Dalam pernyataan resminya, pihak FCC bilang pelolosan dokumen Net Neutrality adalah bukti komitmen Pemerintah melindungi hak dan kebebasan publik. Tapi anehnya, publik tak tahu apa isi dokumen yang mereka sahkan kemarin. Bahkan tebalnya halaman yang disahkan, diketahui berkurang. Dari awalnya 332 halaman, ternyata hilang 15 halaman.
Diduga, pada saat voting dilakukan, ada pasal yang dihilangkan. Tapi karena sampai posting ini dibuat, substansi perundangannya masih dirahasiakan dari Publik –dikatakan ada revisi redaksional– sulit mengetahui apanya yang kini lenyap? Pasal mana yang dikurangi? Aspek apa yang ditambahkan?
Artikel bertitel Administrative Procedures, Bureaucracy, and Transparency: Why Does the FCC Vote on Secret Texts? yang ditulis Scott J. Wallsten, penasehat Presiden AS, doktor bidang ekonomi dari Stanford University, serta Direktur FCC bidang National Broadband Plan ini menarik disimak. Selengkapnya, pemikiran dari pakar industrial organization dan public policy, sekaligus Vice President for Research and Senior Fellow of Georgetown Center for Business and Public Policy ini, bisa ditinjau di link ini.
Mungkin banyak yang lupa, sudah sejak lama Pemerintahan Obama memang ingin mengontrol Internet. Diduga, Internet serta konten yang dibagi/disebarkan, serta hak kebebasan publik untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat, mereka persepsi sebagai ancaman bagi kepentingan penguasa.
Pendapat Ibu Negara Amerika (saat itu) Hillary Clinton pada 1998 misalnya, menyitirnya: “We are all going to have to rethink how we deal with this Internet thing,” katanya. “….because the there are all these competing values without any kind of editing function or gatekeeping function. What does it mean to have the right to defend your reputation, or to respond to what someone says?” imbuhnya.
Dalam banyak pidato para pejabatnya, Internet kerap diposisikan sebagai ‘ancaman’ bagi kepentingan nasional Amerika. Presiden Obama misalnya, menengarai itu dalam pidatonya di Hampton University: “…information becomes a distraction, a form of entertainment, rather than a tool of empowerment, rather than a means of emancipation…,” beliau mewanti. “With so many voices clamoring for attention, it can be difficult, to know what to believe, to know who is telling the truth and who’s not. It’s putting new pressure on our country and our democracy,” Obama mengingatkan.
“There are too many voices. It’s too confusing. There are too many points of view,” ujarnya lagi.”It’s causing chaos in the country. It’s causing tumult. It’s creating confusion,” tandasnya.
NEUTRALITY BERMAKNA TAK ADA LAGI DISKRIMINASI?
Selama ini, di kalangan awam berkembang opini, bahwa Net Neutrality akan menjamin kesetaraan perlakuan antar-pihak saat ber-Internet. Termasuk bagi kalangan pebisnis. Maka, ketiadaan jaminan Net Neutrality diasumsikan akan mematikan iklim kompetisi. Karena perusahaan berpostur raksasa, diasumsikan akan mudah mendominasi. Memaksakan aturan main dan strategi berkompetisi. Sementara pemain Internet kelas UKM, tak akan sanggup memberikan perlawanan berarti.
Nahasnya, pembahasan dan debat topik kontroversial ini, sengaja disalah-kaprahkan dengan pemahaman sesat: Seakan Net Neutrality adalah tentang ancaman diskriminasi perlakuan hak akses konsumen dengan cara pengaturan jalur cepat dan lambat (fast lane & slow lane).
Faktanya, selama ini, praktik diskriminatif berupa penyediaan privilege dan ‘akses khusus’, memang sudah terjadi. Bahkan sudah dinikmati oleh berbagai perusahaan Internet yang terafiliasi dengan Pemerintah.
Bahkan, Tim Wu, orang yang pertama kali memperkenalkan istilah Net Neutrality, mengaku bingung dengan sesatnya pemaknaan ‘fast lane’ yang kini dipahami otoritas dan kalangan awam. Telah terjadi salah kaprah. Bukan seperti yang dimaksudnya dulu. “The fast lane is not a literal truth,” ujarnya. “…it’s a sense that you should have a fair shot,’’ ia mencoba mengklarifikasi.
Maksudnya, yang jadi isu, sebenarnya adalah soal keterukuran keadilan perlakuan. Bukan sekadar menyoal ada-tidaknya diskriminasi. Pun bukan tentang sah-tidaknya pembedaan treatment konsumen. Karena ada beda makna antara ‘no discrimination’ terhadap terminologi ‘no unfair discrimination’.
Banyak yang lupa, justru FCC sendiri, yang awalnya mengeluarkan aturan baru, yang (bisa ditafsirkan) membolehkan dan memberi kesempatan kepada ISP, untuk melakukan pembedaan perlakuan penggunaan bandwidth dan pengaturan penyaluran konten. Pembedaannya dilakukan berdasarkan prioritas, jenis/tipe dan kategori. Juga kriteria serta volume. Atau jumlah banyaknya konsumsi bandwidth karena konten yang diakses.
Ini sah dan legal. Karena, bagaimana pun, ketersediaan sumberdaya penyalur konten, jumlahnya jauh lebih terbatas, dibanding tren peningkatan secara eksponensial, jumlah pengguna, kreator dan pendistribusi konten di Internet. Sehingga, karena jumlahnya terbatas, maka pengelolaannya perlu diatur. Harus ada diskresi dan diskriminasi, berdasar kriteria dan skala prioritas. Tanpa diskresi pengaturan yang proporsional, potensi terjadinya kemacetan (jammed) jaringan, menjadi konsekuensi yang harus sering dialami.
Tapi, penyesatan informasi telah sukses menyebabkan terjadinya salah kaprah persepsi di masyarakat: Dikira Net Neutrality bermakna jaminan tak ada lagi diskriminasi saat ber-Internet. Padahal makna ‘adil’ tidak sama artinya dengan ‘sama-rata bagi semua’. Secara filosofis makna ‘adil’ adalah ‘memberi perlakuan secara proporsional’. Maka, yang memang menghabiskan bandwidth banyak, ya harusnya layak membayar lebih banyak. Netflix, misalnya mendominasi penggunaan 1/3 bandwidth, demi menjamin konten film yang diakses penggunanya, bisa tersalurkan secara lekas dan lancar.
Faktanya, raksasa perusahaan Internet selama ini telah mendapat privilege. Tak banyak masyarakat tahu, bahwa diam-diam, antar-raksasa penyedia konten dengan ISP, sudah sejak lama sudah terjadi deal dan kesepakatan mutualistik.
Sudah bukan rahasia lagi, perusahaan bikinan Pemerintah AS seperti Facebook, Google, Netflix, bertahun-tahun telah diuntungkan oleh situasi dan kondisi pengaturan khusus, termasuk praktik penyediaan fast lane. Sudah lama terjadi kong-kalikong –yang diskriminatif. Jaringan Internet, diam-diam sudah tak seperti awalnya dulu. Para raksasa telah mer-rewired-nya. Antarpara raksasa ini dengan ISP-nya sudah terkoneksi secara direct. Para raksasa penyedia konten ini, telah mengoperasikan mesin server-nya sendiri-sendiri.
Google misalnya, sejak hampir 10 tahun terakhir, telah melebarkan dan memperluas cakupan jejaring data centre-nya di berbagai negara. Bahkan Google telah membangun yang diistilahkan dedicated content delivery network, di dalam jaringan mesin ISP-nya. Pun Google punya mesin server dan router-nya sendiri, yang terhubung langsung ke dalam infrastruktur mesin ISP. Secara teknis, ini diistilahkan peering connections. Tujuan itu semua untuk ‘melancarkan’ penyaluran kontennya, langsung ke titik akses pengguna.
Dengan fakta itu, justru aneh dan tak adil, jika menganggap sama antara para startups dan pengelola Web Log misalnya, yang cuma menggunakan bandwidth secara terbatas, terhadap para raksasa Internet.
Justru ketika aturan Net Neutrality menyama-ratakan para raksasa Internet sekategori terhadap perusahaan kelas UKM, maka yang terjadi justru praktik ketidakadilan. ‘Kan seharusnya yang menghabiskan bandwidth banyak, ya mestinya justru wajib dan mau bayar lebih banyak dong? Begitu pun, yang bertahun-tahun telah menangguk keuntungan bisnis dari karut-marut kondisi selama ini, demi keadilan, harusnya malah dibebani tanggung jawab untuk membangun infrastruktur bagi yang lain ‘kan?
INTERNET DIATUR DENGAN LOGIKA KADALUWARSA?
Berkembang dugaan sinis, bahwa otoritas di Amerika tak paham (atau pura-pura gak ngerti?) cara kerja dan logika bisnis Internet. Sehingga mereka menganggapnya sama saja, seperti laiknya industri layanan publik lainnya. Makanya, aturan/ketentuan hukum yang digunakan melandasi Net Neutrality juga aneh. Dasar pijakannya, Title II dari Communications Act tahun 1934.
Ini adalah landasan peraturan yang sama, yang telah berusia 80 tahun lewat, yang selama ini digunakan mengatur kebijakan dan tata kelola perusahaan-perusahaan utility –yang menguasai hajat hidup orang banyak di Amrik sana. Misalnya perusahaan penyedia jasa telepon dan telegraf, perusahaan air bersih, perusahaan listrik Negara, jawatan angkutan publik dan pengelola jalan raya, dan seterusnya.
Keanehan lainnya: tugas, peran dan kewenangan FCC adalah sebagai regulator penggunaan bandwidth. Kewenangannya adalah mengurus tata kelola hak public oleh ISP. Bukan mengatur pengelolaan Internet. Tapi dalam hal Net Neutrality, FCC bahkan sampai mengendalikan teknis kerja ISP.
Padahal, ISP bukan Media. Pun bukan penyedia konten informasi. Tidak sama seperti, misalnya saja, Facebook, Google, Twitter dan seterusnya. Pun tak sama seperti perusahaan pengelola Radio atau TV. Jadi aneh jika dianggap sama saja
Memang siy, FCC juga berwenang mengontrol konten Internet yang terkategori vulgar, eksesif, dan eksplisit. Tapi secara filosofis, isu Net Neutrality, tidak terkait dengan kontrol konten.
Perdebatan tentang Net Neutrality, harusnya tak berkutat ke masalah neutrality of treatment. Bukan tentang fast versus slow lane. Karena ada yang lebih ‘mengerikan’ dari itu: Fakta bahwa pengelolaan Internet, ternyata hanya dikendalikan oleh segelintir pihak (baca: kepentingan Amerika).
Ini faktanya: Berjalannya Internet hanya melibatkan content provider yang itu-itu juga. Hanya dikelola sedikit internet service provider saja. Maka, bagi kepentingan audiens/pengguna jasa Internet, yang lebih utama sebenarnya bukan neutrality of treatment. Bukan juga tentang fast vs. slow lane. Melainkan adalah memastikan iklim bisnis Internet tetap sehat, transparan dan akuntabel.
Ini ilustrasi sederhananya: Sekitar 10 tahun silam, lalu lintas Internet terdistribusi antara ribuan perusahaan. Tapi pada 2009, separoh dari lalu lintas Internet, dikendalikan hanya oleh sekitar 150 perusahaan konten dan distribusi. Bagaimana saat ini? Separoh dari total lalu lintas Internet, berasal dari tak lebih dari 30 perusahaan saja. Termasuk di antara mereka, Google, Facebook, Netflix, Twitter dan seterusnya. Bahkan seluruh kontrol kendali Internet Global, digenggam cuma oleh 14 orang saja, yang mereka ini memegang 7 kunci rahasia pengamanan Internet Global.
Artinya, monopoli, oligarki, skenario dominasi, kontrol-kendali, bahkan praktik terror, intimidasi dan siasat penciptaan ketergantungan urusan, adalah justru ancaman sesungguhnya dari pengelolaan Internet.
Tanpa itu semua disikapi kritis, dikawal dan diwaspadai, maka berarti kita semua pengguna jasa jejaring koneksi ini, ikut mempercepat terbunuh matinya Internet.
Tapi apa perlunya sih kita yang di Indonesia sini tahu, paham dan ikut mengkritisi semua hal tadi?
Semua kegaduhan di atas bisa dilihat sebagai preseden. Modus, metoda, kebijakan dan cara pandang/paradigma yang sengaja disesatkan di atas, bisa dijalankan dan diberlakukan dimana saja. Baik di Amerika, maupun di luar Amerika. Tak ada bedanya. Di Indonesia pun tak terkecuali.
Maka, jika hal-hal yang dibahas tadi, demi regulasi, diimplementasi di sini, kita (para pengguna Internet yang selalu menuntut agar Internet tak diawas-awasi, dan tetap free dari regulasi), tahu bagian yang mana, bagaimana, kenapa dan apa yang harus disikapi. Kuncinya, tetap ingat dan waspada. Mari. \kris moerwanto
Tinggalkan Balasan