If there is no trust there is no us
Benarkah Sharing Economy sudah mati?
Di tengah euforia budaya berbagi yang luarbiasa marak belakangan ini, tiba-tiba ada klaim, bahwa sharing economy, sebenarnya sudah mati. Penyebabnya: gara-gara salah-kaprah pengaplikasiannya. Pun dampak kian memudarnya trust di masyarakat. Serta tudingan adanya agenda jahat di balik penyediaaan layanan berbasis applikasi. Yang kejahatan itu bersembunyi, di balik salah-kaprah sharing economy tadi. Benarkah begitu?
Kejahatan Korporasi di Balik Sharing Economy
Tulisan ini terinspirasi oleh peringatan Idul Qurban 1436 Hijjriah. Puncak Hari Raya Kurban adalah momentum pewujudan semangat kebersamaan dan kepedulian kepada sesama. Antar beberapa keluarga, berkomitmen saling patungan. Sharing untuk sama-sama membeli kambing, sapi atau kerbau. Dagingnya kemudian dibagi dan didistribusikan kepada yang berhak. Betul-betul ekspresi keikhlasan berbagi yang indah sekali.
Tapi kok dibilang, ”sharing economy” sudah mati?
Mungkin belum mati betulan sih. Mungkin masih akan lama, sebelum benar-benar mati nanti. Mungkin yang lebih tepat dikatakan, “pelaksanaan konsep sharing economy, kini sedang terancam riwayatnya”.
Berikut, adalah rekap sederhana apa saja yang bisa bikin “sharing economy” terancam mati:
Yang pertama, terkait makin memudarnya kepercayaan audiens. Indikatornya: menadirnya trusted, reputasi, integritas dan kredibilitas di level masyarakat. Salah satunya, itu akibat maraknya tudingan praktik corporate nullification.
Sekadar info, UBER dan Airbnb, dua raksasa sharing economy penyedia layanan berbasis applikasi, sedang menjadi sorotan di berbagai Negara. Mereka dituduh melakukan kejahatan korporasi. Dengan menyalah-tafsirkan perundangan dan regulasi yang ada. Menciptakan opini bahwa aturan yang ada, sudah usang dan tak up to date lagi dengan tuntutan kekinian.
Masalahnya, kuat dugaan, penciptaan opini seperti itu, adalah demi keuntungan bisnis mereka. Itu diduga adalah siasat demi menciptakan efek ketergantungan dari publik pengguna layanan. Demi mencegah terjadinya kompetisi. Sehingga pasar bisa dimonopoli.
Layanan berbasis aplikasi lantas dituding adalah kemasan baru dari kapitalisme. Bahkan dibilang sebagai praktik perbudakan modern dan bentuk kolonialisme korporasi. Bukannya memberdayakan, justru melakukan perusakan sosial secara masif.
Penulis Frank Pasquale, mengurainya secara menarik di buku The Black Box Society: The Secret Algorithms That Control Money and Information.
Dampak dari Bits versus Atoms
Penyebab lain ‘ancaman’ bagi iktikad sharing economy adalah karena belakangan ada kesadaran baru, bahwa konsep secara online, konsekuensinya berbeda dengan saat diaplikasikan di dunia offline.
Seperti diketahui, karakter Bits memang tidak sama dengan Atom. Buku lawas Nicholas Negroponte berjudul Being Digital, mengurainya secara menarik. Bits, adalah istilah Negroponte untuk informasi secara digital. Sementara wujud fisik, diistilahkan atom.
Karena karakter bits berbeda dengan atom, maka online trust pun berakibat tidak sama dengan offline sharing. Sehingga meski suatu ide di ranah online dianggap jenius, tapi belum tentu bisa aplikatif saat dipraktikkan di kehidupan nyata. Kemudahan dan efisiensi yang dijanjikan belum tentu bisa diwujudkan secara sederhana.
Contohnya misalnya ide ini: Masing-masing kita sebenarnya tak perlu punya mesin bor sendiri. Karena toh yang kita butuhkan cuma bikin lubang. Maka, daripada beli mesin bor sendiri, lebih efisien meminjam saja bor milik tetangga.
Ini adalah contoh klasik dari konsep sharing economy. Konsep yang luarbiasa jenius dalam perspektif online. Tapi ketika diaplikasikan dalam hidup keseharian, ternyata ide hebat tadi menjadi tak sederhana.
Pasalnya, peminjam yang berdomisili di kota lain, harus lebih dulu berkendara menuju kediaman pemilik barang yang akan dipinjam. Padahal untuk bepergian berarti perlu ongkos BBM, bayar TOL mungkin, atau beaya Parkir, dan seterusnya.
Pertanyaan kritisnya: Efisien kah? Sepadankah ongkos tadi disbanding kemanfaatan yang didapat?
Bukankah di pasar yang long tailed, dan niches, kebutuhan makin bersifat unik, spesifik, dan karakternyta tak saling identik. Bukankah tak berlaku lagi one size fits for all?
Mengakibatkan Upah partner Terjun Bebas
Ada lagi contoh kesenjangan lain antara online trust vs offline sharing: Dalam sharing economy dibayangan terjadi pertemuan antara penyedia kebutuhan dan yang membutuhkan. Bisa saja, keduanya tak saling kenal. Nah dalam kehidupan nyata, stranger atau orang yang sebelumnya tak kita kenal, tentu tak bisa mendadak jadi friend kita. Agar bisa engagement apalagi sampai intim, butuh waktu.
Belum lagi risiko dan potensi terjadinya kriminalitas dari orang yang tak dikenal tadi: pura-pura meminjam. Padahal itu modus operandi kejahatan terhadap korban, yang notabene pemilik barang yang akan dipinjam.
Aspek lainnya adalah terkait fakta makin me-mainstream-nya praktik sharing economy. Ternyata, semakin layanan yang disediakan me-mainstream, pendapatan yang diperoleh operator pun makin terjun bebas. Merosotnya pendapatan pengojek berbasis applikasi ketika supply ketersediaanya makin melimpah dibanding demand, adalah contohnya.
Dulu di awalnya, pengojek berbasis aplikasi mengaku bisa mendapat kira-kira Rp 10,5 juta per bulan. Tapi dengan semua orang kini tertarik jadi pengojek berbasis aplikasi, keadaan pun berubah cepat.
Dampak lain layanan yang me-mainstream: makin banyak konsumen yang butuh tuntutan dan harapan konsumen pun makin sulit dipenuhi. Ini berpotensi menimbulkan overpromises but under delivery. Terjadi kontradiksi antara janji kastemisai layanan versus komoditasi delivery. Konsumen pun dirugikan. Begitu pun perusahaan penyedia layanan sendiri.
Ancaman Ledakan Masalah Sosial
Tapi mungkin potensi ancaman paling serius bagi kelangsungan sharing economy, adalah terkait permasalahan hubungan perburuhan industrial.
Faktanya, UBER, Grab, Gojek, Airbnb, bukanlah pemilik ‘dagangan’. Mereka cuma fasilitator. Sementara produk atau jasa yang ditransaksikan, adalah milik mitra/operator. Dalam contoh kasus Gojek atau Grab-Bike di atas, mereka adalah tukang ojeknya. Mereka bukan karyawan. Juga tak bisa dikategorikan pekerja lepasan, part timer atau free lancer. Regulator di beberapa Negara mengistilahkan mereka ini, fractional employee. Yang lain menyebutnya dependent supplier. Ada juga istilah Cooperatives Operators.
Di banyak negara, hak kekaryawanan mereka, belum diatur perundangan yang jelas, kuat, dan melindungi. Berapa besar mereka dibayar, berapa porsi pembagian hak, apa saja tunjangan yang harus diterima, ada tidaknya perlindungan asuransi, dan bagaimana aturan main pekerjaan, semuanya masih dikontrol sepihak oleh pemilik platform. Jika terjadi sengketa perburuhan, posisi mitra/operator lemah. Jika tak diakomodir, ini bisa berpotensi menimbulkan ledakan sosial.
Anggapan bahwa sharing economy terancam, juga masuk akal jika dikaitkan dengan siklusnya yang menuju titik jenuh. Berpotensi mulai declining. Ilustrasi di bawah ini menggambarkannya.
Sebagai efek Hukum Moore, maka product life cycle di industri apa pun, cenderung memendek. Ini konsekuensi ekspektasi konsumen yang meninggi. Mengakibatkan produk dan layanan pun jadi cepat usang. Rentan tergantikan inovasi berikutnya.
Faktanya barrier of entry di layanan sharing economy praktis tak ada. Satu-sama-lain pemain, basisnya saling mirip. Begitu pun, model revenue dan trik bisnisnya. Ini berakibat industri berbasis sharing economy, mudah menjadi red ocean: pertarungannya berdarah-darah, buas dan mematikan.
Kalau sharing economy mati, berarti kita pembunuhnya
Tak perlu disangkal, sebagai konsep, sharing economy adalah inovasi sosial yang unggul. Misalnya tercermin dari ide brilyan: don’t own. Share! Gagasan tersebut terbukti sukses menggeser konsep ownership dan kapitalisme yang pernah diunggul-unggulkan dulu. Dan menggesernya dengan ide redistribution, access dan share yang lebih egaliter.
Dengan makin teredefinisinya makna teman, kenalan, dan tetangga, sharing economy juga mengantar ke bentuk ekonomi kemasyarakatan yang baru. Yakni gelombang jejaring layanan desentralisasi dan fenomena disintermediasi. Peran dan fungsi middleman memudar. Penjual dan pembeli kini makin mudah bisa langsung ketemu. Saling bertukar dan saling membeli yang mereka butuhkan satu-sama-lain.
Transaksi bukan lagi terjadi antara pembeli dan penjual. Tapi saling berbagi dan saling pinjam-pakai, antar-sesama konsumen. Konsumen kini bergeser menjadi prosumen: konsumen yang sekaligus produsen, supplier, distributor, sekaligus kurator.
Itu tadi bukan sekadar gambaran telah terjadinya pergeseran cara jual-beli. Tapi itu tadi adalah realita berderap-derapnya social movement, pengubah cara kita saling berinteraksi. Mengubah tak saja apa yang kita produksi. Tapi juga bagaimana cara kita membeli dan meredistribusikannya lagi.
Maraknya sharing economy tersebut dipercepat oleh makin banyaknya ketersediaan mobile apps, serta penggunaan sensor/pelacak di berbagai peralatan, aksesori: arloji, kalung, kacamata, hingga pengukur langkah kaki dan sensor detak jatung. Pun akibat fenomena Internet of Things, dan social network. Yang memberi kemudahaan akses dan redistribusi konten secara radikal. Apalagi ada perubahan payment settlement system yang baru. Yang nyaris menggantikan peran dan fungsi perbankan tradisional.
Di tengah melonjaknya jumlah populasi penduduk, sementara sumber daya alam ketersediaannya justru makin cepat terkuras, inovasi sosial tersebut sangat relevan diaplikasikan. Karena kita masing-masing tak perlu harus memiliki barang/jasa, untuk bisa mendapat manfaat dari kegunaannya.
Selain lebih menghemat ongkos, konsep sharing economy berpotensi memberdayakan komunitas: termasuk meningkatkan akses (bukan kepemilikan yang kapitalistik). Mendorong tumbuhnya ekonomi lokal yang lebih berwawasan lingkungan. Karena berdampak mengurangi (reduce) limbah. Sekaligus mengoptimasi (reuse) penggunaan barang/jasa yang kapasitasnya idle.
Mungkin, tak ada inovasi social lain yang bisa memicu banyak dampak secara simultan, seperti yang bisa dipicu sharing economy.
Dengan semua manfaat dan keunggulan itu, memang agak janggal kalau konsep sharing economy dikatakan riwayatnya sedang terancam sekarang. Kalau toh sharing economy ke depan ternyata betul-betul mati, jangan-jangan benar: berarti kita sendiri yang sengaja membunuhnya. Karena benar kata peribahasa: Kalau di antara kita sudah tak saling percaya, berarti tak ada lagi ‘Kita’. \kris moerwanto
Tinggalkan Balasan