Makna tak harfiah dari ilustrasi di bawah ini: diperalat bisa dikarenakan dimanipulasi/diperalat sehingga menjadi tak tahu yang sebenarnya. Tapi tertipu juga bisa karena berkeras tetap tak mau menerima kebenaran yang makin nyata.
There are two ways to be fooled. One, is to believe what isn’t true. The other, is to refuse to accept what is true,” – Soren Kierkegaard.
Yang kita pelajari di posting sebelumnya, belum komplet. Menakar bohong tidaknya pemimpin, tak cuma bisa dilakukan dengan memelototi sosok sang tokoh doang. Deteksi kebohongan juga bisa dilakukan dengan mencermati yang ada di sekitar sang tokoh. Mulai dari mutu kebijakan yang dibuatnya. Kerja Timses sang calon. Siapa investor dan kenapa pemodal tersebut yang membeayainya. Pun mengkritisi bermutu/tidaknya, polah penyokong atau supporter sang tokoh.
Lembaga survei global Edelman menggunakan lima atribut berikut, sebagai indikator indeks trust barometer-nya: engagement, integritas, produk dan mutu layanannya, purpose serta aspek operations.
Ini plek-ketiplek dengan teori elemen kekuatan kepemimpinan, yang ditulis ilmuwan perang Sun Tzu, di buku legendarisnya yang sudah berusia ratusan abad, the Art of War.
Tentang integrity, misalnya, ternyata erat kaitannya dengan persepsi dan awareness publik atas personal brand sang tokoh kandidat. Atribut product & services, adalah tentang mutu kebijakan/policy yang dihasilkan si pemimpin. Aspek operations, berkorelasi dengan mutu input dari timses, Team Penasehat, bahkan pembisik di sekeliling sang tokoh.
Sementara purposes, adalah tentang dampak pengaruh keterlibatan penyandang dana, pemodal, atau pedagang. Yang “menghutangi” sang tokoh untuk memuluskannya merealisasikan ambisi kekuasaannya. Sedangkan engagement, adalah tentang kualitas polah-tingkah penyokong, fans, supporters, endorser, audience sang tokoh.
Kebijakannya Tak Bermutu Cermin Ketidak-Becusan
Kajian Edelman Trust Barometer 2015 mencatat, dua atribut yakni Integritas dan engagement, adalah indikator paling utama tanda-penanda beres-enggak-nya watak kepemimpinan seseorang. Sebab, cacat integritas dan cedera akibat engagement, sangat mempengaruhi terpuruknya 3 atribut pengukuran yang lain.
Dalam istilah Jawa, hal itu disebut dengan istilah bibit-bebet-bobot. Yang dimaksud bibit, termasuk terkait sejarah, silsilah, keturunan, asal muasal. Karena sudah jadi rahasia umum, demi tampak bersih, latar belakang sejarah si tokoh bila perlu, akan dipalsukan, digelapkan, atau malah ditulis-ulang.
Sementara Bebet, adalah tinjauan tentang lingkungan di sekeliling si tokoh. Siapa temannya. Bagaimana pola dan cara bergaulnya. Pun kebiasaan, tabiat, perangai, dan kelakuan kawanan supporter-nya.
Dan bobot, terkait dengan mutu personal. Tentang nilai-nilai yang dianutnya. Misalnya yang tercermin dari reputasi, kredibilitas, kecakapan, kompetensi, bekal keilmuan, kapabilitas, kapasitas dan seterusnya.
Idealnya, tanda-penanda-pertanda ketidakbecusan sudah bisa diendus sejak dini. Karena biasanya kepiawaian memanipulasi, memalsukan, mengelabui publik, mudah ketahuan. Selalu ada bedanya antara yang sekadar merasa bisa tapi tak bisa merasa.
Alat ukurnya bisa sangat sederhana: dengan menguji dampak kebijakannya. Semakin kontrol eksesnya tak bermutu, berarti kebijakannya ngasal.
Secara ilmiah-akademik, uraian rincinya begini: ukuran integrity dan engagement adalah pada etis/tidaknya praktik kepemimpinan dan berpolitik. Pun pada bertanggungjawab/tidaknya kepemimpinan sang tokoh terhadap isu-isu public dan kemanusiaan.
Juga bisa diukur dari iktikad untuk membangun kepemimpinan yang transparan, terbuka, akuntabel, sesuai prinsip dan kaidah good governance.
Untuk mencapainya, ukuran indikasinya adalah kesediaan kepemimpinan beriktikad mau mendengarkan dan memahami yang menjadi kebutuhan rakyat yang dipimpinnya. Memiliki pola berkomunikasi yang “terjangkau” oleh masyarakat. Beriktikad memperlakukan rakyat secara bermartabat dan pantas. Pun meletakkan kepentingan rakyat, mendahului kepentingan pribadi, atau kelompoknya.
Klise banget ya? Tapi apa boleh buat, ukurannya memang begitu. Lagian, yang klise, kan bukan berarti harus ditinggalkan, kalau memang sudah terbukti dan teruji benar. 🙂
Survey Edelman: 63% Responden Bilang Pemimpin Mereka Culas, Ingkar, Khianat
Data Edelman Trus Barometer 2015 yang dilakukan di 25 Negara termasuk di Indonesia ini, mungkin perlu jadi pertimbangan: Sejumlah 75% responden survey Edelman bilang, indikator kepemimpinan yang performed, adalah yang mampu memecahkan problem sosial dan kemasyarakatan.
Sekitar 50% responden bilang makin mempercayai pemimpin, yang bisa menjadikan masyarakat yang dipimpinnya produktif dan terberdayakan. Sebanyak 47% di antara yang menyatakan itu bilang, kepemimpinan yang baik berkorelasi dengan sandang, pangan, papan yang layak.
Data-data tadi menjelaskan kenapa 80% responden bilang syarat masyarakat tak berpaling dari mendukung pemimpin yang dipilihnya, adalah jika kepemimpinan tersebut bisa mengemban mandat, amanat dan bisa dipercaya.
Sebanyak 63% bilang alasan mereka tak percaya lagi dengan pemimpin pilihan mereka, karena tabiat kepemimpinannya culas, ingkar dan tak amanah
Yang menarik, ada 68% yang bilang bersedia tetap mendukung pimpinan yang dipilihnya. Bahkan siap membela dan merekomendasikan kepemimpinan si tokoh, kepada para haters-nya. Sementara yang akan berpaling dan ikut menyebar-luaskan kritik atas pimpinan yang dipilihnya, sebanyak 58%
Dari sana kita bisa belajar, bahwa persepsi atas kebohongan sang tokoh, adalah resultante. Merupakan efek akumulatif, dari banyak aspek dan elemen di sekitar eksistensi sang tokoh. Artinya, asal muasal terbitnya ketidakpercayaan audiens, adalah berasal dari ketidakpatutan ukuran oleh lima atribut tadi.
Yang Layak Dipilih: Yang Terbukti “Pantas Menjadi”
Maka, dalam konteks Pilkada Serentak Desember 2015 nanti, idealnya yang dipilih pemilih, adalah yang bisa membuktikan dirinya memang layak dipilih. Yakni bisa membuktikan kepada audiens, dirinya pantas menjadi. Bukan sekadar yang paling ambisi, paling ngotot, ngebet, pengin jadi.
Mudah-mudahan dengan kita paham motif alasan pemimpin suka berbohong, terus memintarkan diri, kita tak mudah dibodohi para pembohong pintar, yang menyamar menjadi kandidat pemimpin masa depan. Risikonya kalau sampai kita salah pilih lagi, cita-cita menuju Indonesia yang lebih baik bagi semua, akan semakin jauh dari harapan. Waspadalah. Waspadalah. \kris moerwanto
Tinggalkan Balasan