Political language is designed to make Lies sound Truthful and Murder respectable,” George Orwell
Ancaman nyata Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 9 Desember 2015 sebentar lagi, bukan sekadar kepada mutu penyelenggaraannya. Tapi tentang kemampuannya memilih pemimpin yang layak dipilih. Jika pemilih abai itu, maka Pilkada terancam cuma akan menjadi sekadar formalitas pesta demokrasi: calon yang sebenarnya tak layak, akan mendapat legitimasi formal. Karena ketidakpatutan proses pemilihannya diabaikan. Karena kebohongan bisa disulap menjadi kebenaran. Dan pembunuhan atas demokrasi, dibenarkan.
Ukuran sukses Pilkada Serentak nanti memang tak boleh sekadar “semua tahapannya telah terselenggara sesuai jadwal”. Ukuran suksesnya juga bukan sekadar “penyelenggaraannya lancar tanpa gangguan keamanan.” Atau sekadar penyelenggaranya merasa bisa mengatasi problem calon tunggal. Bahkan juga bukan sekadar “partisipasi pemilih sudah sangat optimal.”
Pilkada Serentak di 269 daerah se-Indonesia dituntut harus bisa menjawab keraguan ini: apakah mampu memilih pemimpin dan kepemimpinan, yang mampu dan beriktikad untuk memperbaiki Indonesia ke depan?
Jika kita telah bersepakat bahwa itu yang harus dituju, maka potensi ancaman yang bisa menggagalkannya harus kita kenali. Termasuk di antaranya adalah: Pengelolaan informasi dan sosialisasi Pilkada yang amburadul. Atau berupa pembiaran potensi voter fraud. Pun manipulasi data pemilih dan hasil pilihannya. Serta penyalahgunaan statistik, survey dan polling, sebagai alat penyesat hasil Pilkada.
Setidaknya ada dua aspek, yang bia menjadikan Pilkada Serentak nanti, secara persepektif, berbeda dengan pemilu sebelumnya, baik pileg maupun pilpres. Yakni penggunaan sistem elektronik secara lebih massif. Misalnya termasuk penggunaan applikasi berbasis smartphone. Serta pengelolaan Big Data, untuk lebih mengoptimalkan proses kepemiluan, secara efektif dan efisien.
Dengan aspek berbedanya itu, kualitas demokrasi, level partisipasi publik, dan mutu pemimpin yang terpilih, mestinya bisa ditingkatkan menjadi lebih baik. Masalahnya, penggunaan sistem elektronik dalam Pilkada di tangan yang tak bertanggungjawab, juga bisa berpotensi mengancam kualitas Demokrasi itu sendiri.
Artinya: Kalau ternyata kepemimpinan yang dihasilkan Pilkada Serentak nanti sama payah dan bermasalahnya denghan kepemiluan sebelumnya, berarti kita semua ikut menjadikan salah.
Modal Partisipasi Pilkada: Tahu dan Mau
Seperti sama-sama telah kita baca di berbagai media, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat optimistis, bahwa target kenaikan partisipasi masyarakat sebanyak 77,5% (berarti meningkat 2,5% dari pemilu sebelumnya) dalam Pilkada Serentak pada 9 Desember 2015 nanti, bisa tercapai. Syaratnya, kata ketua KPU Husni Kamil Malik, para pihak terkait harus mampu mengelola dua modal utama: modal Mau dan modal Tahu.
Modal Tahu, menurutnya adalah tanggung jawab para kandidat yang maju. Sebab, yang paling bisa mendorong para pemilih mau untuk datang ke TPS adalah faktor kedekatan dan kemampuan sang kandidat, untuk meyakinkan para pemilih. Apalagi, alasan pemilih bersedia datang ke TPS, adalah karena mereka punya pilihan calon yang dianggap layak dipilih.
Sementara modal Mau, adalah kewajiban dan tanggung jawab utama penyelenggara Pemilu. Pasalnya, agar Pilkada terselenggara, butuh kemauan para pemilih, untuk terlibat dan turut serta dalam seluruh tahapan prosesnya.
Agar partisipasi pemilih bisa dioptimalkan, maka strategi penyebaran informasi berbasis aplikasi menjadi mutlak. Karena hal tersebut sangat berkorelasi terhadap efek perluasan area distribusi/penyebaran informasi. Pun bisa meningkatkan partisipasi pemilih.
Dalam konteks ini, gagasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih pemula dengan menggunakan sarana aplikasi berbasis website, dan smartphone layak diacungi jempol.
Dikemas dalam bentuk lomba bertajuk #PahlawanMuda Apps Challenge Code For Vote 3.0 Surabaya 2015, gagasan itu direalisasikan dengan menggandengn KPU Pusat dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Di antara aplikasi yang dihasilkan misalnya termasuk: aplikasi pemantau hasil Pilkada. Juga aplikasi Game Pilkada (untuk sosialisasi dan menambah pengetahuan bagi remaja). Ada pula aplikasi untuk mengoptimalkan identifikasi dan keterwakilan Perempuan. Sampai aplikasi untuk membantu penyandang disabilitas mudah mengetahui kandidat calon. Serta aplikasi Crowdsourcing, untuk basis pelibatan dan peran serta masyarakat dalam menyukseskan Pilkada.
Waspadai Rekayasa Statistik dan Big Data
Masalahnya, seperti telah disinggung di awal, sukses Pilkada seharusnya bukan sekadar tentang kesemarakan atribut dan tingginya partisipasi pemilih pemula saja. Apa artinya hajatannya terselenggara, partisipasi pemilih tinggi, tapi produk pemimpin yang dihasilkannya tak bermutu?
Makanya, di Pilkada Serentak nanti, pemilih pemula harus bersikap sama ekstra kritisnya dengan pemilih yang lebih senior . Karena yang harus dinilai dari calon yang maju, bukan visi-misi saja. Sekadar visi-misi ‘kan bisa sekadar janji-janji. Yang belum tentu sanggup diwujudkan, ketika si calon benar-benar terpilih nanti.
Seperti disebut dalam posting sebelumnya, idealnya aspek untuk mempertimbangkan pilihan atas calon harus meliputi aspek bibit-bebet-bobot. Yakni menyangkut Kapasitas dan kapabilitas. Pun Kredibilitas. Serta Reputabilitas si calon.
Pemilih juga tak boleh gampang percaya kepada calon yang sekadar mengandalkan modal popularitas dan elektabilitas –yang dihasilkan dari survey, riset atau polling yang juga cenderung manipulatif. Apalagi kalau si calon didukung modal besar dan dibeking pengusaha kakap.
Kalau pemimpin model begituan yang terpilih, nasib masyarakat termasuk pemilihnya, dijamin tambah runyam.
Makanya kita juga harus mewaspadai pelibatan Big Data dan potensi manipulasi data statistik yang direkayasa. Setidaknya fakta ini, harus jadi pelajaran bersama: bahwa data statistik ternyata bisa diperalat demi tujuan politik. Hasilnya bisa dipalsukan. Angka/data olahannya bisa dimanipulasi. Sehingga persepsi publik pun bisa sengaja disesatkan, untuk memilih atau tak memilih calon tertentu
Menurut lembaga riset Gatner, yang diistilahkan Big Data adalah asset informasi berkecepatan tinggi, keragamannya banyak sekali, dan jumlah volumenya juga tinggi sekali. Yang bila diolah dengan benar dan proporsional, bisa membantu kita mendapatkan insight. Sehingga dengan itu, proses pengambilan keputusan –termasuk dalam konteks Pilkada– bisa dilakukan lebih lekas, mudah, dan efisien.
Big Data, pada hakikatnya harusnya bersifat bebas nilai. Dan penggunaannya di tangan yang bertanggung-jawab, bisa sangat bermanfaat bagi maslahat umat. Misalnya terkait transparansi dan akuntabilitas data.
Bahkan dengan penggunaan yang tepat, Big Data bisa membikin beaya politik menjadi lebih murah. Termasuk bisa memangkas biaya pemenangan politik. Serta menjadikan proses demokrasi menjadi semakin sehat.
Ini urusan stratejik dan penting. Agar kita tak lagi mendengar kisah Pemilu yang pilu: Calon yang terpilih, adalah karena menggunakan taktik money politics. Bisa terpilih disebabkan dukungan modal besar. Atau dibeking pengusaha dan pebisnis kakap. Akibatnya, karena untuk menang sang kandidat butuh sokongan dan modal dana luarbiasa, maka saat terpilih, akhirnya menjadi pejabat pemburu rente.
Statistik Palsu Popularitas dan Elektabilitas
Tak bisa dibantah, ongkos berpolitik di Indonesia tak masuk akal. Link berita ini misalnya, menarik tapi sekaligus bikin pilu: bahwa calon Presiden minimal butuh sokongan dana Rp 7 Triliun untuk bisa bertarung di Pilpres 2009. Sementara prediksi total dana yang bergulir pada Pemilu 2014 dicatat mencapai Rp115 triliun.
Bagaimana dengan para calon legislatif yang bertarung di Pileg 2014 lalu? Menurut penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI), seorang caleg butuh antara Rp 800-an juta hingga sekitar Rp 1,18 Miliar. Jumlah itu naik empat kali lipat ketimbang anggaran optimal caleg untuk maju pada Pemilu 2009 yaitu butuh “cuma” Rp 250 juta.
Beda lagi dengan penelitian yang menjadi disertasi doktoral Sekretaris Kabinet, Pramono Anung. Dalam risetnya, mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini mengatakan, biaya yang dikeluarkan seorang Caleg untuk menjadi anggota DPR di Pemilu 2009 bisa menghabiskan uang hingga Rp 20 miliar!!!.
Sekadar catatan, angka-angka tadi, adalah beaya politik dalam periode tinjauan tahun 2009-2014. Pada 2015, diperkirakan ongkos politik meningkat antara 4 hingga 5 kali lipat. Bisa dibayangkan sebesar apa kebutuhan calon yang maju Pilkada
“Ongkos politik di Indonesia mahal, karena calon tidak tahu menang itu seperti apa. Sehingga sistemnya menjadi mahal,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dalam diskusi publik yang diadakan Sinyal Sosial di Jakarta.
Terungkap kemudian, bahwa mahalnya ongkos berpolitik tadi, ternyata terkait penggunaan data yang menyesatkan. Selama ini, angka popularitas dan statistik elektabilitas, lazim dipakai sebagai ukuran kelayakan kandidat layak dipilih. Padahal itu ternyata ‘bukan data yang tepat dan tak akurat digunakan’, untuk menetapkan kriteria memilih calon.
Selain sebagai alat penyesat dan manipulasi, ternyata data tadi, ternyata juga digunakan sebagai alat dagangan politik saja.
Cara cegah ekses kecurangan Pilkada
Seperti telah disinggung di depan, makna terpenting dari Pilkada Serentak 9 Desember 2015 sebentar lagi, bukan pada gaduhnya kampanye. Suksesnya juga tak diukur dari optimasi partisipasi pemilih serta tertib dan amannya suasana penyelenggaraan. Melainkan pada: bisa-tidaknya menghasilkan pemimpin yang baik.
“Hanya pemimpin baik, yang akan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik pula, yang kemudian akan berujung pada kesejahteraan rakyat,” kata pengamat analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Teguh Yuwono, mewanti.
Supaya semua tujuan tadi bisa terealisasi, maka pemanfaatan platform dan aplikasi, pengolahan data pemilih, serta hasil pilihan mereka, pun disiplin statistik, harus benar-benar dikawal.
Supaya jangan sampai terjadi hal begini: Demokrasi akhirnya cuma sekadar rekayasa partisipasi, aspirasi, representasi. Gara-gara para pemilih tidak sadar, atau malah disesatkan, dengan memilih yang pilihannya sebenarnya sudah dipilihkan, oleh calon yang ingin dirinya terpilih/dipilih.
Di era internet of things dan Big Data, hal tadi kian dipermudah terjadi. Karena ketika always connected 24 hours non-stop, yang publik tahu, bukan selalu adalah hasil dari mencari tahu. Tapi bisa saja disebabkan karena ada pihak yang sengaja memberi tahu. Yang menjadikan publik tahu. Tapi, cuma sebatas yang publik boleh tahu saja. Persis seperti yang dimau pihak berkepentingan, agar diketahui publik.
Kecerobohan, atau sikap pembiaran atas rekayasa terhadap hal-hal tersebut, hanya akan memberi kesempatan kandidat beriktikad jahat, yang terpilih. Padahal, jika kepemimpinan ke depan jatuh ke tangan pemimpin lemah dan brengsek, harapan menjadikan Indonesia lebih baik bagi semua, akan makin jauh.
Makanya, 9 Desember 2015 nanti, mari memilih dengan bertanggung jawab. Jangan milih ngasal, kalau tak mau nanti nyesal. \kris moerwanto.
Tinggalkan Balasan