UU ITE Lebih Pentingkan Melindungi Nama Baik Pejabat Ketimbang Bocah Korban Cyberbullying?
“Unless and until our society recognizes cyber-bullying for what it is, the suffering of thousands of silent victims will continue.” –Anna Maria Chavez, attorney, inspirational speaker, CEO of the Girl Scouts of the USA.
Perdebatan tentang revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih berlanjut. Fokus revisi, yang dilakukan terhadap pasal-pasal yang bermasalah di perundangan tersebut, dianggap mencerminkan ketidakpahaman otoritas atas substansi permasalahan. Termasuk yang direvisi adalah Pasal 27 dan 29. Pasal tersebut membahas tentang penghinaan, dan pencemaran nama baik para pejabat. Yang merasa menjadi korban. Di-bully, di media sosial.
Bagi yg skeptis, perdebatan yang kini masih berlangsung akan dikritisi: jangan-jangan banyak dari kita salah fokus. Membahas sekadar yang gaduh. Tapi lupa esensi jaminan perlindungan hukum, untuk melindungi hak-hak korban cyberbully yang sebenarnya.
ANCAMAN DI BALIK DEFINISI CYBERBULLYING YANG MULTI-TAFSIR
Yang jadi rasan-rasan ramai: revisi oleh Pemerintah dan DPR atas UU ITE (dengan menyisipkan pengaturan soal cyberbullying atau perundungan di dunia maya), dikhawatirkan akan menjerumuskan kita semua ke kesesatan.
Sebab revisi pasal-pasal kontroversial di UU ITE tersebut, pemaknaannya masih kabur. Pasal 27 ayat (3) misalnya, tidak memiliki definisi jelas tentang “penghinaan dan pencemaran nama baik”. Namun pemerintah dan Panitia Kerja Komisi I DPR malah bikin komplikasi. Dengan menyisipkan ke Pasal 29, ketentuan yang mengatur cyberbullying, yang definisinya pun masih kontroversi.
Padahal definisi “bullying” atau “perundungan”, masih multi-tafsir. Henri Subiakto, staf ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa misalnya, mengategorikan tindakan “…menakut-nakuti dengan informasi elektronik,” kedalam pengertian cyberbullying di Pasal 29 UU ITE yang direvisi.
Masalahnya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki definisi hukum yang baku mengenai bullying di dunia nyata/offline. Apalagi mendefinisikan tindakan serupa yang dilakukan di dunia maya/online: makin belum jelas. Akibatnya, pemaknaan istilah “cyberbullying”, berpotensi keliru. Revisi tersebut dianggap nggak nyambung. Gap-nya melompat terlalu jauh.
PILKADA 2017: TREND PENYALAHGUNAAN UU-ITE MENINGKAT?
Belum adanya definisi baku mengenai cyberbullying inilah, yang dikhawatirkan, akan menyebabkan rumusan pasal dalam perundangan ITE nanti, menjadi terlalu lentur. Berpotensi multi-tafsir. Maknanya bisa diartikan macam-macam. Tergantung selera penguasa. Sehingga, berpotensi besar disalahgunakan oleh penegak hukum.
Dalih pemerintah dan DPR bahwa pengaturan cyberbullying perlu dimasukkan dalam revisi UU ITE karena ada korban cyberbullying dari kalangan dewasa (baca: tokoh, pejabat, penguasa, yang menjadi bulan-bulanan di-bully publik di media social), dianggap sebagai dalih yang kurang tepat.
“Bullying adalah istilah untuk intimidasi kepada subjek anak kecil. Kalau yang diperdebatkan pemerintah dan DPR ada pejabat yang di-bully, mereka salah kaprah. Mereka ini ‘kan orang dewasa,” ujar Asep Komarudin, Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers.
Ada kekhawatiran, pemahaman sesat tentang cyberbullying, ke depan akan semakin mengancam hak kebebasan berekspresi, para pengguna media sosial. Dengan menggunakan pasal-pasal “karet” di UU ITE, aparat ke depan, diprasangkai akan mudah main tangkap secara semena-mena.
Pasalnya, regulator dan aparat, dinilai belum benar-benar beriktikad paham dan memperhatikan makna cyberbullying. Serta apa bedanya dengan hate speech, pasal tentang penghinaan, dan tuduhan pencemaran nama baik. Pemerintah dan DPR dinilai belum belajar paham atas kontroversi di masa lalu. Makanya, pasal-pasal bermasalah di UU ITE, dikhawatirkan bisa dipolitisasi kepentingan tertentu.
Lebih jelasnya: UU ini ditakutkan disalahgunakan sebagai instrumen pembungkam daya kritis. Pun memberangus hak rakyat, untuk bersuara berbeda dari pendapat penguasa.
Jelang ajang Pemilihan Kepala Daerah pada 2017 misalnya, diperkirakan akan menjadi momentum makin banyak pasangan calon, politikus, termasuk petahana, serta kelompok terkaitnya, yang akan memanfaatkan pasal 27 dan 29 UU ITE. Digunakan untuk menjerat para pengritiknya di medsos. Atau untuk memidanakan pihak-pihak, yang membuat posisi politik petahana, tidak nyaman. Apalagi, ada surat edaran dari Kapolri SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), yang kerap dikait-kaitkan dengan UU ITE.
CYBERBULLYING BEDA DENGAN HATE-SPEECH
Fakta menunjukkan, ada semacam pembiaran atas terjadinya kerancuan, antara yang dimaksud dengan “kebebasan berekspresi”, serta “hak berpendapat dan menyampaikan aspirasi” (yang dijamin undang-undang). Yang dibenturkan secara frontal terhadap esensi hate-speech, hate-crime, dan cyber-harassment. KErancuan inilah, yang menjadikan pasal-pasal UU ITE berpotensi bisa disalah-gunakan. Dijadikan senjata mengkriminalisasi para pengritik aparat dan pejabat.
Makanya, terbit kekhawatiran, bahwa kegaduhan seputar revisi UU ITE, berpotensi menjerumuskan. Menjadikan kita gagal memahami esensi substansial dari perkara cyberbullying yang sesungguhnya. Membuat kita lupa mengurus situasi-kondisi yang lebih gawat, dari kalangan yang benar-benar menjadi korban cyberbullying yang sesungguhnya.
Maka, memahami dengan jernih isu ini menjadi mendesak. Agar jangan sampai kita yang berusia dewasa, bahkan sedang menjabat dan memegang kuasa, terjebak memperdebatkan yang tak substansial. Bergaduh mengkonfrontasikan antara spirit undang-undang yang menjamin kebebasan masyarakat untuk berpendapat. Terhadap tuntutan sejumlah kalangan (baca: tokoh penting, pejabat, korporasi raksasa dan atau kekuasaan yang dominan) yang tak rela namanya dicemarkan.
Pemahaman secara klir tersebut juga penting, demi membuat kita tak lupa. Bahwa perlindungan kepada anak dan remaja pengguna media sosial dan jejaring online, justru lebih mendesak.
Faktanya, kita cenderung lebih disibukkan mengurusi perlindungan hukum dan membela para tokoh, bapak-bapak pejabat, penguasa atau korporasi raksasa, yang tak rela nama baiknya cemar.
Padahal korban praktik bully justru korbannya mayoritas anak-anak, remaja dan generasi muda potensial. Jumlah korbannya cenderung meningkat. Sejalan pertumbuhan eksponensial dari populasi pengguna Internet secara global. Apalagi ada trend makin mayoritasnya jumlah usia bekerja dari Gen Y dan Z.
Mereka ini jauh lebih rentan menjadi korban cyberbully. Lebih berpotensi kehilangan masa depan. Bahkan rentan kehilangan jiwa mereka: banyak korban cyberbullying, yang akhirnya nekat bunuh diri, Karena mengalami depresi. Terdampak gangguan psikologis-mental. Atau tak tahan menahan malu dan dipermalukan.
AKAR GADUH PERDEBATAN PASAL UU ITE
Sesuai namanya, UU ITE awalnya diniatkan berfokus mengatur soal transaksi elektronik dan e-commerce. Tentang aturan pemblokiran situs yang mengandung konten bermasalah. Serta regulasi tentang penyediaan jasa transportasi berbasis applikasi. Bukan mengancam pengguna jejaring sosial yang menyuarakan pendapatnya di dunia maya.
Sayangnya, tampaknya Pemerintah dan regulator, masih gagal membedakan antara esensi ruang publik dan privat. Akibatnya, semakin banyak warga pengguna media sosial yang berpotensi dijerat pidana. Hanya karena mempercakapkan topik yang tak disukai pemimpin, tokoh, pejabat, pemerintah, atau pihak dengan kontrol yang dominan. Walau rasan-rasan dan kritikan itu hanya dibahas sebatas di forum atau grup WhatsApp atau chat Line.
Kontroversi kasus Prita Mulyasari, yang berperkara gara-gara curhatannya tentang Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, harus menjadi pelajaran bersama.
Juga, masih ada kerancuan. Yang menganggap makna cyberbullying, adalah sama dengan troll, cyber-stalking dan cyber-harassment. Menganggap kritik dari masyarakat terhadap pejabat yang dilakukan di media sosial, termasuk jenis perilaku mem-bully. Bahkan secara sembrono dikonotasikan sebagai hate speech.
Sejak disahkan DPR pada Maret 2008, jumlah yang menjadi korban UU ITE, sudah lebih dari ratusan nama. Mayoritas 90-an% aduan, menyoal tuduhan pencemaran nama baik. Pelapornya kebanyakan tokoh berpengaruh. Atau para pejabat publik. Atau yang sedang memegang kekuasaan. Juga korporasi raksasa. Serta kepentingan yang memiliki kontrol dominan.
Dalam contoh kasus yang terakhir, BNN, TNI dan POLRI, juga menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU 11 Tahun 2008 tentang ITE, untuk memperkarakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar. Haris diperkarakan aparat, karena di media sosial mem-posting kesaksian Freddy Budiman, gembong Narkoba yang telah dieksekusi mati. Tentang dugaan keterlibatan aparat dan pejabat, dalam peredaran Narkoba di Indonesia.
Tapi, itu seharusnya tak boleh menjadi alasan untuk melupakan: bahwa di bawah pucuk gunung es, ada mayoritas korban yang tak muncul ke permukaan. Yang justru belum dijamin perlindungan dan hak keadilannya.
WHAT IS A CYBER-BULLY?
Dalam artikel ini cyberbully didefinisikan sebagai tindakan bully yang menggunakan sarana teknologi elektronik. Termasuk menggunakan telepon genggam, komputer, gadget, tablet atau piranti wearable lainnya. Sementara tools dan platform yang digunakan mem-bully adalah jejaring media sosial, applikasi pesan, chat, forum maupun websites. Pesan bully-nya bisa teks, suara, gambar, foto, video atau lainnya.
Definisi bullying sendiri: adalah bentuk perilaku dan tindakan agresif secara kelompok/perorangan, yang membidik korban kalangan anak-anak dan remaja usia sekolah. Perbuatan bullying biasanya terjadi berulang-ulang. Berupa gangguan tak menyenangkan. Memosisikan korban di bawah tekanan, kekuasaan dan pengancaman. Baik meneror, menyebar-luaskan gossip dan rumor. Berupa pelancungan, perundungan atau penganiayaan fisik-mental-verbal.
Motif dan sebab latar belakang terjadinya cyberbullying beragam. Tapi umumnya karena motif yang absurd: sekadar iseng. Demi mengerjai korban. Sengaja membuat korban, terpancing kemarahannya. Membuatnya menjadi bahan olok-olok. Atau dipermalukan. Semakin korbannya terpancing kemarahannya, semakin pelakunya merasa terhibur, puas dan mendapat kesenangan.
Apakah bullying ini efeknya serius? Iya. Sangat. Bahkan cyberbullying dikategorikan sebagai topik yang paling menjadi keprihatinan terbesar, kalangan orangtua, saat ini. Maklum, anak-anak yang menjadi korbannya tak saja terluka atau terluka secara fisik. Tapi juga mengalami trauma dan cedera mental yang sulit disembuhkan.
Trend kehidupan serba online yang menjadikan kita always connected, 24 hours, non-stop, makin memperparah efek kerusakan bullying. Karena korban bisa diserang kapan saja, dengan cara apa saja, dari mana saja, oleh siapa saja. Bahkan, membatasi anak untuk tak terlalu sering online, atau melarang anak menggunakan handphone, tak bisa menyelesaikan masalah.
STATISTIK KORBAN CYBERBULLY YANG MENGERIKAN
Selain mengakibatkan korbannya menjadi pemurung dan penyendiri, bullying juga menyebabkan stress dan depresi. Hingga gangguan kestabilan jiwa-mental-sosial. Itu sebabnya, korban bullying, rentan nekat bunuh diri. Karena tak kuasa menanggung malu dan dikucilkan dari pergaulan.
Ini data statistik dari berbagai sumber di berbagai Negara: menurut Yayasan Cybersmile di Inggris, setiap 20 menit, ada seorang anak usia 10 hingga 19 tahun yang bunuh diri, gara-gara menjadi korban cyberbullying. Secara jumlah, rata-rata satu dari setiap 5 remaja usia antara 14 – 15 tahun di Amerika, adalah korban cyberbullying. Bahkan di Inggris, korban cyberbullying rata-rata satu dari tiap 3 anak.
Temuan survey Girlguiding tak kalah mengerikan: 45% anak perempuan antara usia 11 hingga 16, mengaku menjadi korban cyberbullying. Sebanyak 78%, mengaku tak berdaya, ketakutan, dan memilih tak melaporkan yang dialaminya. Yang menjadi obyek bully, bisa ukuran dan bentuk postur tubuh, kecacatan/keterbatasan fisik, perilaku/tindakan, orientasi seksual, ras, sampai agama dan keyakinan.
Internet Matters yang mensurvey 1500 orangtua di Inggris mencatat, 9% dari para orangtua ini, menyebut anak mereka terlibat insiden cyberbully. Sementara 62% menyebut mereka khawatir atas dampak cyberbullying, tapi merasa tak berdaya berbuat apa-apa untuk melindungi anak-anak mereka.
SALAH KAPRAH TENTANG CYBERBULLYING
Ini yang bikin penanganan cyberbullying makin komplikatif: mayoritas kalangan dewasa dan orang tua, masih menganggap efeknya cuma sepele. Cyberbullying dianggap hal yang lumrah. Kejadian biasa. Diremehkan.
Dikira hanya sekadar dianggap sebagai kenakalan lumrah. Diabaikan sekadar sebagai ekspresi kenakalan di usia muda. Berupa olok-olok guyonan yang tidak membahayakan jiwa. Dianggap konsekuensi logis yang tak terhindarkan. Ketika kita makin bergantung dengan Internet, gadget, dan berjejaring sosial di kehidupan keseharian.
Hanya karena para orangtua tak mengalaminya di saat mereka dulu di usia bocah, menyebabkan korban cyberbullying gagal mendapat support yang mereka butuhkan. Padahal, korban bullying ini sangat butuh support, didukung, ditemani, oleh mereka di lingkungan terdekatnya. Karena para korban ini sedang menghadapi tekanan bahkan ancaman, dari kelompok lebih besar, dengan pengaruh yang lebih kuat, dari dirinya
Padahal, dibanding bully di dunia nyata/offline, dampak psikologis, mental dan fisik dari tindakan cyberbullying/di dunia maya, efeknya jauh lebih berdaya rusak. Dampaknya secara klinis, medis, psikologis, bersifat long-term effects. Traumanya kronik. Kerusakannya permanen.
MONSTER DAN TERORISME MEDSOS DI KEHIDUPAN SERBA ONLINE
Realitanya, perkembangan Internet dan transformasi kehidupan serba online, telah mengubah cara kita saling berinteraksi satu-sama-lain. Media sosial, juga telah merevolusi bagaimana cara kita berkomunikasi. Sejalan perubahan itu, wujud ancaman pun berubah. Makin mengerikan.
Tak bisa dipungkiri, Online kini menjadi lansekap yang tak seaman dulu lagi. Bagi kaum dewasa maupun remaja. Pria maupun wanita. Bullying, trolls, stalking, bahkan terorisme dan predator di media sosial, kini muncul menjadi problem dan monster baru dunia maya
Tapi apa mau dikata? Kondisi peradilan, aturan hukum dan perundangan yang mengancam para pelaku cyberbullying di Indonesia, tampaknya, masih belum bisa diharapkan memberikan perlindungan secara ideal.
Makanya, anak-anak dan remaja yang menjadi korban cyberbullying ini, biasanya diistilahkan silent victim. Karena biasanya mereka tak berdaya. Takut bersuara. Dan tak berani menuntut balas dan atau meminta keadilan. Karena perangkat hukum untuk membela mereka seperti tak ada.
Tapi, tak ada salahnya kita belajar dari pengalaman dan yang sudah terjadi di berbagai Negara. Toh korban cyberbullying, juga ada di banyak Negara. Bedanya, di berbagai Negara, para ahli hukumnya lebih “berupaya memahami” makna esensial cyberbullying. Membedakan dari praktik trolls, stalking, atau cyber-harrasment, yang korbannya kalangan dewasa. Dengan cara menjaga jernih pendefinisiannya, dari kepentingan politik partisan yang bersifat sesaat.
Maka, senyampang kita belum punya gambaran tentang bagaimana hukuman yang adil bagi para pelaku cyberbullying di Indonesia, mungkin pemikiran seperti yang diurai di Link berjudul Guidelines on Prosecuting Cases Involving Communications Sent via Social Media ini, boleh menjadi landasan perspektif pemahaman kita. Link Bullying in children and adolescents: A modifiable risk factor for mental illness, ini juga bisa menjadi bacaan perenungan.
Mudah-mudahan, kutipan wewanti Anna Maria Chavez, CEO Girl Scouts of the USA, di awal artikel ini bisa menggugah: bahwa penderitaan para korban cyberbullying akan tetap tak terlindungi. Apalagi terselamatkan. Kecuali, dan hanya jika, kita semua, kaum dewasa, orang tua, guru, panutan, semua pihak memahami dengan benar, kegawatan makna cyberbullying.
Semoga kita masih diberikan kesempatan, dan daya kekuatan, untuk bisa bersama-sama memperbaiki keadaan. Semoga. \kris moerwanto.
Tinggalkan Balasan