Kalau ada topik yang paling kontroversial dibicarakan di kalangan wartawan dan atau praktisi media, mungkin itu adalah Brand Journalism. Jadi kontroversi sepanjang zaman, karena wacana yang umum berkembang, kerja wartawan haruslah idealis, obyektif – tidak memihak, apalagi bikin tulisan pesanan pebisnis/industri. Jika sampai ada yang melakukannya, maka idealisme si wartawan akan dipertanyakan. Karena dianggap telah mengkhianati korps. Bahkan melacurkan profesi.
Tak mengherankan, walau teknik marketing yang mengandalkan the power of story ini sudah dijalankan banyak perusahaan bereputasi skala global sejak ratusan tahun silam, praktik Brand Journalism tetap ada di ruang sunyi. Memberinya ruang dinamika, atau membicarakannya secara terbuka, seakan bakal mencederai kesakralan jurnalisme yang usianya sudah ratusan tahun.
Toh, di tengah perdebatan tentangnya, ada satu catatan penting yang belakangan mengemuka: bahwa Brand Journalism ini ternyata termasuk satu dari 12 trend paling top di bidang public relations tahun 2012. Selengkapnya silakan klik di sini . Bahkan, Brand Journalism diramalkan bakal menjadi tren periklanan yang akan makin berkembang ke depan. Apalagi berbagai survey membuktikan, bahwa paradigma periklanan lama – termasuk periklanan di media online, ternyata tidak efektif mampu men¬-deliver pesan dan meng¬-engage konsumen.
Tapi apa sih sebenarnya Content Marketing atau Brand Journalism itu?
Brand Journalism punya banyak sebutan di berbagai media. Di Amerika dan Eropa misalnya, ada yang mengistilahkannya sebagai Sponsored Content, Custom Publishing, Brandend Content, atau Corporate Media/Publishing/Journalism. Sementara kalangan praktisi periklanan lebih mengenalnya dengan istilah Content Marketing.
Ada yang mendefinisikan Brand Journalism sebagai editorial yang berfungsi untuk brand building. Misalnya yang dilakukan CISCO System ini. Atau berupa artikel non-fiksi tentang produk atau jasa pengiklan. Misalnya yang dilakukan Procter & Gamble, SAP, Microsoft, Oracle, Dell. Berupa artikel yang menjelaskan, mengklarifikasi, atau menguraikan secara detil, dan menjawab persoalan dari sudut padang brand-owner. Misalnya seperti yang pernah dilakukan maskapai United Airlines, atau lembaga jasa finansial Merrill Lynch. Sehingga fungsinya, adalah sebagai bentuk penjelasan atau pertanggungjawaban dari produsen atas produk/jasa yang dipromosikannya.
Secara ringkas bisa dikatakan, bahwa Brand Journalism adalah bentuk aktivitas komunikasi oleh advertiser/brand owner, yang menggunakan mekanisme dan tatacara layaknya media mainstream betulan. Dia menjembatani antara jurnalisme klasik dengan advertising.
Tapi Brand Journalism ini tak seperti jurnalisme klasik yang bertugas to inform. Tidak juga seperti Social Media yang andal menggalang engagement. Brand Journalism adalah marketing pengantaran pesan yang tidak hard-selling. Melainkan meng-create dan mendistribusikan pesan yang relevan atas permasalahan yang muncul. Tujuannya, untuk menarik, mengajak dan melibatkan target audiens dalam suatu conversation, agar lebih memahami detil masalah, secara benar-benar betul, dari sudut pandang brand owner.
Konten dari Brand Journalism, idealnya bisa berperan sebagai rujukan dan jadi panduan yang diikuti. Menjadi Thought Leader Content, istilahnya. Misalnya berupa artikel yang terbit di Koran, penerbitan buku, katalog/info produk, atau white papers. Bentuk lainnya adalah berupa tulisan di Blog atau Newsletter, wawancara di media, atau content online.
Baru-baru ini Coca-cola mengenalkan tampilan website korporatnya yang baru. Yang menarik, itu dilakukan sekaligus untuk menandai berubahnya strategi marketing Coca-cola global. Seperti kita tahu, selama beberapa dekade ini, tema kampanye promosi Coca-cola selalu menggunakan strategi creative excellence. Isi pesannya tidak pernah hard selling. Melainkan memotivasi, menginspirasi dan mengajak kepada perubahan. Tapi kini mereka mengubah tema strateginya menjadi content excellence.
Maka tampilan secara visual dari website tergres Coca-cola, kini lebih menyerupai desain portal berita. Dengan strategi content excellence, metode berkomunikasi yang dilakukan Coca-cola sekarang, lebih bergaya jurnalistik layaknya mainstream media. Di Website-nya misalnya, tersedia kanal bisnis, komunitas, berita sport, tentang makanan, hingga kisah feature. Audiens juga bisa berkontribusi berkirim dan berbagi artikel, foto, video. Selengkapnya, apa saja beda antara dua strategi tadi, dan pelajaran apa saja yang bisa diambil dari perubahan strategi Coca-cola, bisa diklik di sini.
Walau banyak dituding dan diprasangkai, jika Brand Journalism dikelola secara benar, idealnya dia bisa menjadi platform dialog interaktif yang terpercaya. Untuk men-deliver informasi dari “yang memang ahlinya”, kepada yang memang serius butuh mendapat informasi yang benar-benar betul. Misalnya kalangan professional dan influencer. Bukan sekadar informasi artifisial, hasil rekayasa, yang sudah dipermak dan dilumuri bedak atau gincu tebal demi sekadar tampak menawan.
Dalam paradigma pemasaran lama, kita sama-sama tahu, cerita buruk adalah aib yang harus disimpan rapat-rapat. Complaint harus diselesaikan diam-diam. Agar tak terpublikasi ke media. Permasalahan harus dibenamkan. Agar tak sampai ketahuan di pemukaan.
Tapi kini lansekap sudah berubah. Jagat pemasaran makin flat. Antar individu kini saling terhubung. Satu sama lain saling punya sumber rujukan, untuk mengecek kebenaran setiap informasi yang beredar. Paradigma pemasaran lama pun kini langsung usang. Karena tak ada lagi ruang menyembunyikan cela. Nekat berbohong, gampang sekali ketahuan. Karena audiens kini bisa mengontrol secara transparan, akuntabel, terukur.
Karena dikonsumsi secara permissive oleh konsumen sendiri, bahkan terjadi conversation, maka lebih tak ada sikap resistensi dari audiens atas produk brand journalism. Makanya, Brand Journalism disebut-sebut lebih mampu menginspirasi dan mendorong aktivasi komitmen individu, ke arah yang lebih baik.
Keberadaan Brand Journalism menjadi keniscayaan bahkan kemutlakan. Karena di jagat pemasaran yang kian memimpih, siapa saja sekarang telah menjelma menjadi media. Kredibilitas sumber informasi menjadi kian kritis perannya. Karena dimana-mana ada problem keotentikan pesan, problem orisinalitas isi pesan, dan problem otoritas si penyampai pesan. Terjadi inflasi informasi sekaligus polusi informasi.
Ini konsekuensi tak terhindarkan. Karena semua saja bisa menulis apa saja dan menyebarkannya kepada siapa saja. Siapa pun kini punya pendapat sendiri-sendiri. Siapa saja bisa bersuara berbeda. Ini mengakibatkan konsumen cenderung skeptik dan sangsi atas penjelasan yang didapatnya. Audiens makin sulit mendapat informasi secara klir, otentik, orisinal dari pihak yang memang punya otoritas menyampaikannya. Pada situasi chaotic itulah dibutuhkan editorial berkriteria khusus dari sumber kredibel. Untuk menjamin pesan yang dipahami audiens benar-benar betul.
Produk tulisan atau konten Brand Journalism umumnya adalah hasil kolaborasi pihak industri dengan para wartawan dan atau penulis professional. Mereka bertindak dan berpikir tetap menggunakan logika jurnalis yang kritis. Ritme kerjanya pun seperti layaknya wartawan. Yang juga punya deadline agar materi yang disiapkan selekasnya dipublikasikan. Dalam bekerja, team yang menggarap konten Brand Journalism berpegang pada prinsip: harus bisa secepatnya menyiapkan materi/panduan terpercaya untuk ber-conversation dengan audiens, secara lekas-relevan dan tranparan.
Jika konsumen punya persoalan, complaint, ingin bertanya dan atau ingin minta penjelasan. Atau terjadi situasi krisis yang menyebabkan reputasi, dan nama baik perusahaan brand owner jadi bahan pertaruhan. Maka jawabannya adalah produk Brand Journalism. Sehinghga ada garansi jawaban yang diterima audiens memang benar-benar betul. Mengena ke inti persoalan. Bukan sekadar jawaban kira-kira. Atau sumir. Atau jawaban basa-basi. Yang bikin situasi makin simpang-siur.
Terkait Brand Journalism, mungkin ada baiknya jika kita cermati lagi temuan survey Adoba-Edelman Berland bertajuk The State of Online Advertising, yang dirilis Oktober 2012. Di halaman 14, tercantum ada 73% dari total 1.250 responden yang setuju dengan statement bahwa harusnya iklan (yang konsumen inginkan, adalah yang) punya kisah yang unik. Ada unique/inspiring story behind the Brand-nya. Tidak sekadar pesan hard selling.
Hikmahnya, ternyata konsumen bukan butuh media sosial, melainkan idea sosial. Yang berisi pesan percakapan mencerdaskan. Dialog yang membuka wawasan. Yang menjadikan konsumen menjadi terberdayakan. Agar tahu caranya membedakan merek A, B dan yang lainnya. Dan supaya konsumen punya pertimbangan/alasan yang benar, mengapa harus memilih merek A, ketimbang B, C dan lainnya. \kris moerwanto
Sumber ilustrasi http://ow.ly/fHRbK http://ow.ly/fHRkc http://ow.ly/fHRpX
Tinggalkan komentar