Survey global, Edelman Trust Barometer yang mengukur kepercayaan publik kepada Pemerintah, LSM, Pebisnis dan Media di 26 negara, baru saja dirilis. Kesimpulan survey: 2013 adalah tahun krisis kepemimpinan. Indikatornya, rendahnya trust publik –termasuk di Indonesia – kepada institusi Pemerintah. Bahkan di Indonesia, kepercayaan kepada Pemerintah, yakni 47%, adalah yang terendah dibanding kepercayaan publik kepada LSM (51%), Bisnis (74%), dan Media (77%).
Yang menarik, tingginya trust level kepada Media – utamanya media tradisional – tersebut tak saja menjadikan Media di Indonesia sebagai institusi terpercaya saat ini. Lebih dari itu, ternyata trust level publik kepada Media di Indonesia bahkan jauh di atas kepercayaan kepada Media di level Global!
Lantas apa kaitan temuan ini dengan hasil survey tahun 2012, yang oleh Edelman disebut sebagai “Tahun kejatuhan Pemerintahan”? Seberapa parahkah turunnya level kepercayaan publik di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir?
Secara umum, survey berskala global itu mencatat, sejak 2011 Edelman’s Trust Index Indonesia memang terus menurun. Tahun 2011 index Indonesia masih luarbiasa: 74. Angka ini di atas Singapura (67) bahkan Cina dan Belanda (73). Tapi tahun 2012, Index Level Indonesia anjlog ke angka 63. Angka ini, di bawah China (76), Singapura (67) dan India (65). Bahkan di tahun 2013 Index Level Indonesia makin melorot menjadi 62. Padahal Singapura makin meningkat ke angka 76. Begitu pun, angka Index Malaysia naik dari 57 pada 2012 menjadi 64 di 2013.
Beruntung, di tengah melorotnya Index Level Indonesia, kepercayaan kepada anak muda ternyata malah terus naik. Ini sejalan fenomena menguatnya pengaruh kelompok (Peer Power). Konon, Peer Power merupakan implikasi dari fenomena kian flat dan connected-nya jagat marketing. Ketika hierarki runtuh, kebenaran informasi kian nisbi, dan banjir inflasi/polusi pesan makin bikin individu kewalahan, kepercayaan individual pun berangsur beralih kepada Peer. Pendapat Peer-lah yang kemudian dirujuk, dipatuhi, bahkan dianggap sebagai nilai kebenaran itu sendiri.
Fenomena itu pada 5 tahun silam dituangkan Edelman dalam istilah Young influencer have more trust in business. Kemudian berlanjut lagi pada 2011 yang ditandai Rise of authority figures. Lantas ini dikonfirmasi hasil survey tahun 2013, dengan terjadinya demokratisasi otoritas: Bagi 67% responden, teman di kelompok atau Peer, jauh lebih terpercaya pendapatnya daripada yang dikatakan analis industri/keuangan (64%), bahkan CEO (55%). Bagi pebisnis dan Pemerintah, angka tadi bermakna: suara konsumen tak bisa lagi diabaikan. Kredibilitasnya bahkan mengalahkan pendapat ahli, termasuk opini pucuk pimpinan perusahaan sekalipun.
Pada 2013 ini, survey Edelman Trust Barometer ini adalah survey global ke-13 yang diadakan di 26 negara. Melibatkan 31 ribu responden usia 18 sampai 64 tahun. Di Indonesia sendiri, ini adalah survey ke-5. Survey dilakukan baik terhadap responden kategori “General Population” maupun kalangan “Informed Publics”.
Survey Edelman 2013 mencatat, bahwa di Indonesia, kepercayaan publik kepada media tetap tinggi. Angkanya tetap stabil, seperti sejak survey diadakan 5 tahun silam. Bahkan dengan angka 77% tadi, level kepercayaan publik kepada media yang ada di Indonesia, termasuk yang tertinggi dibanding hasil survey di 26 negara. Ini sekaligus berarti melampaui rata-rata kepercayaan kepada media di level global yang angka 57%.
Kenapa Media sedemikian dipercaya publik Indonesia?
Kepercayaan media terbentuk sejalan pergeseran dari Trust Framework lama, yang mengalami shifting menjadi New Trust Architecture. Media kini adalah jelmaan Idea. Perannya menjadi moderator, tak sekadar mediator. Media kini tak bisa sekadar asyik menyuarakan pendapatnya sendiri. Karena publisher kini adalah “milik” user dan content creator. Bahkan Media tidak boleh lagi berpikir untung sendiri. Tapi harus engagement dengan ekosistem. Bahkan berpartisipasi ikut menggerakkan industri.
Melalui konten, Media tak saja kompeten menyampaikan informasi. Namun juga mengedukasi bahkan mempersuasi dan menggulirkan prakarsa publik. Sudah bukan rahasia lagi, peran paling relevan bagi Media di tengah transisi saat ini, adalah menjelma menjadi pemobilisasi aspirasi Publik. Penggerak idea perubahan. Pendorong spirit perbaikan, kontrol sosial dan transparansi.
Di sini, selain terkait peran dan fungsi, tak pelak faktor trust dan Integritas Media, adalah aspek krusial pengoptimasi engagement Media dengan audiensnya. Media menulis berita dan mengulas kejadian peristiwa itu biasa. Tapi, Media mampu memobilisasi idea, bisa menggerakan publik (mass–movement) secara impresif dan determinan, itu baru istimewa. Karena cuma media yang trusted dan berintegritas di mata Publik, yang bisa mewujudkannya.
Implikasi dari itu, peran media ke depan, tak saja jadi kian kritis, tapi juga makin strategis, bahkan menentukan. Apalagi yang terjadi kini adalah sikon paradoks: Banyaknya opsi yang saling serba mirip di tengah banjir informasi, justru menyebabkan perhatian dan minat publik jadi mudah terdistraksi. Informasi beraneka — bahkan kini siapa saja bisa jadi sumbernya — justru bikin publik tak mudah percaya.
Survey mencatat, terjadi peningkatan jumlah % publik yang skeptik terhadap informasi. Mereka tak lagi mudah percaya begitu saja. Mereka butuh multi voice sebagai pembanding. Butuh multi source yang trusted dan reputable. Mereka baru bisa benar-benar yakin, setelah mendengar informasi yang sama, secara berulang 3 sampai 5 kali. Kalau pada 2012 publik jumlah yang skeptik sebanyak 61%, kini di survey 2013, tercatat meningkat menjadi 64%.
Kenapa Pemerintah dan Pebisnis kurang dipercaya?
Survey menemukan, penyebabnya adalah persepsi negatif tentang korupsi dan inkompetensi. Cara penanganan berbagai kasus korupsi – salah satu bentuk kejahatan luarbiasa bagi kemanusiaan – baik yang melibatkan pejabat negara, maupun pengusaha swasta, bagi publik, secara telanjang, mencerminkan rendahnya komitmen, selain juga menunjukkan lemahnya kompetensi penanganan perkara. Ketiadaan Trust juga terasa ketika terjadi kekacauan koordinasi antar-institusi terkait.
Sejumlah 33% responden menyebut alasan ketidakpercayaan mereka kepada Pemerintah, adalah terkait korupsi dan fraud. Sementara yang mempersoalkan kompetensi aparat Pemerintah ada 31%. Di lain pihak, alasan utama penyebab publik tak percaya pada pebisnis, ternyata juga karena isu korupsi dan fraud (27%). Sementara alasan lainnya, terkait dampak keputusan bisnis yang merugikan masyarakat (23%).
Kok Media Tradisional bisa lebih dipercaya?
Boleh jadi, itu karena fungsi dan peran media, secara tradisional adalah memberi tempat kepada voice of the voiceless. Baik secara individual, maupun di level komunitas lokal. Istilah kerennya: Penyambung lidah para yang mengalami marginalisasi dan atau terpinggirkan, serta dikalahkan keadaan – termasuk menjadi korban ekses kebijakan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini, peran media tradisional adalah mengawal dan mengadvokasi hak-hak publik dan konsumen. Sekaligus memastikan pebisnis tak cuma sekadar cari untung tapi mengorbankan pembeli.
Survey Edelman membuktikan, itu menjadi concern Publik: aspirasi lebih dari separo responden sangat berharap, ke depan dunia usaha hendaknya berbisnis dengan lebih mengedepankan social purposes. Walau bisnis adalah tentang profit, tapi harapan publik, cara mereka berbisnis adalah dengan prinsip profit with social purpose.
Bahwa survey menyimpulkan media tradisional adalah institusi paling dipercaya, tak pelak, itu tetap kesimpulan mengejutkan. Apalagi, survey Edelman diadakan di 26 negara secara online. Tak saja terhadap responden di negara sedang berkembang di kawasan Asia Pasifik. Tapi juga yang berasal dari berbagai negara maju, termasuk AS, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang.
Tapi, faktanya, sejak survey Edelman Trust Barometer diadakan di Indonesia 5 tahun silam, hasilnya tetap sama. Dibanding platform dan format media lainnya, media tradisional (termasuk koran, tv dan radio lokal) selalu mendapat level kepercayaan tertinggi dari publik. Terakhir menurut survey 2013, kepercayaan publik kepada own-media adalah 67%. Sementara Social media lebih dipercaya, angkanya 68%. Tapi yang lebih percaya media tradisional tetap terbanyak jumlahnya, yakni 75%.
Menurut survey, tiga sumber berita dan informasi utama yang diandalkan publik adalah pendapat pakar, komentar akademisi, serta teman dalam Peer. Tapi acuan sumber informasi yang terpercaya di mata publik, tetap media tradisional. Berikutnya media social. Lantas own-media.
Era Otonomi Daerah — yang memberi ruang kedaulatan untuk provinsi mengelola kepentingannya sendiri — juga menjadi peluang eksistensial bagi media tradisional. Di situ, media tradisional bisa berperan penting mewakili publiknya. Menjadi watchdog. Memastikan pelaksanaan kebijakan di daerah, dilakukan sesuai prinsip Good Governance, akuntabel dan transparan. \kris moerwanto.
Sumber ilustrasi: Edelman Trust Barometer 2013, Annual Global Study – Indonesia Findings
Reblogged this on katakotakita.
[…] Lebih jauh, statistic versi McKinsey dan hasil temuan survey Nielsen bahwa publik masih percaya dan mengandalkan media tradisional, pun juga serupa temuan survey Nielsen sebelumnya, seperti juga temuan survey global Adobe-Edelman Berland 2012 dan temuan hasil survey global Edelman Trust Barometer 2013. […]
Terimakasih untuk komentarnya yang bernas Bang. Izinkan saya mengajak membaca lebih rinci postingan saya. Saya tak menyangkal dan atau menafikkan fakta bahwa pertumbuhan jumlah pengguna media online yang luarbiasa. Termasuk di Indonesia. Namun, mengutip temuan McKinsey, saya mencoba menawarkan renungan: bahwa ternyata digital platform dengan user begitu banyak luarbiasa, ternyata tidak otomatis medium tersebut sempat berlama-lama dipakai oleh penggunanya, untuk mengkonsumsi konten yang dikandungnya. Saya menggambarkan dengan istilah sempitnya peluang untuk berkesempatan secara leluasa mengkonsumsi media.Dalam hal ini, postingan saya secara spesifik mengulas tentang penggunaan digital platform khusus hanya untuk mengakses atau membaca berita/news. Bukan penggunaan digital platform untuk aktivitas lainnya. Nah Survey McKinsey menemukan, dari durasi mengakses berita yang dilakukan berbasis medium tradisional dibandingkan terhadap penggunaan digital platform, ternyata 92% audiens, spent time di medium tradisional. Sementara yang spent time di digital platform, cuma 8%. Mudah-mudahan lebih memperjelas substansi postingan saya. Sekali lagi terimakasih perkenannya. *salim*