Sumber ilustrasi: bit.ly/1BOUdPQ
Relasi antara supplier dan customer diam-diam mengalami revolusi. Pencetusnya, partnering model yang diistilahkan Business-for-Business, atau B4B. Berbeda dengan B2B yang identik ‘pokoknya jualan, agar laku’, framework bisnis B4B ini, telah merevolusi logika ‘Jualan’: Menjadikannya lebih berorientasi stratejik dan mutualistik. Mengakibatkan pemahaman tentang ‘connected’, ‘engaging’, dan empowering’ teredefinisi. Bahkan memberi makna baru atas ‘subscription’, ‘transaction’ ‘commodity’ dan ‘customer. Makanya fundamental revenue models di banyak bisnis dan industri, pun terdampak. Dalam logika B4B, cuma customer yang telah disukseskan, yang bisa bikin bisnis ke depan, sukses.”
Jika jadwalnya tak berubah, 21 Oktober 2014 nanti, akan terbit buku hebat berjudul B4B: How Technology & Big Data Are Reinventing the Customer-Supplier Relationship. Acara konferensi Technology Service World yang bertema Corporate Growth in the Age of Services, di ARIA Resort & Casino, Las Vegas, 20-22 Oktober 2014, sengaja dipilih sebagai ajang peluncurannya. Karena di era layanan yang kompetisinya kian sengit seperti sekarang, B4B dianggap adalah strategi kunci bagi korporasi. Untuk menjadikan organisasi bisnis bisa makin untung dan tetap unggul.
Seperti judulnya, buku yang sudah diterbitkan setahun silam itu, memang mengupas konsep dan strategi implementasi Business-for-Business, disingkat B4B. Supaya mendapat perspektif apa itu B4B, silakan klik tautan video menarik ini.
Bussines for Business –disingkat B4B— adalah framework baru bisnis. Dimaknai sebagai outcome-based service offering. Elemen dasar yang sangat mempengaruhinya, adalah Trust. Pengukurnya adalah reputasi, kredibilitas dan kompetensi, serta purpose. Merupakan bentuk penyikapan baru atas realita industri dan lansekap yang sudah sangat berubah, atau diubah oleh perkembangan zaman:
Ketika konsumen kian demanding –didorong oleh consumer revolution serta efek disruption revolution; Ketika ekspektasi tinggi dan cepatnya ritme perubahan, telah makin mempersingkat siklus kehidupan produk; Itu akan menimbulkan dampak negatif komoditisasi. Sehingga produk kini gampang usang. Lekas obsolete. Gampang ketinggalan zaman. Dan akhirnya irrelevant, lantas ditinggalkan pelanggan.
Konsep B4B merupakan konsekuensi ketika Business-to-Business atau B2B, makin tak bisa menjawab kebutuhan bisnis. Pasalnya, ‘jualan’ B2B yang berorientasi ‘Push: make, sell, ship’, dan sekadar ‘sell things to customer’, dirasa makin tak nampol lagi: Desain, konsep dan paradigma ‘Jualan’ berbasis B2B yang telah berusia 134 tahun –sejak pertama dirancang pada 1880– ternyata hanya cocok digunakan di era awal perkembangan perusahaan dan industri manufaktur tempo doeloe. Padahal, kini Customer kian menuntut veracity, bukan sekadar variety, volume, dan value saja.
Customer B2B Dipaksa Menanggung Risiko Kerugian Sendirian
Kenapa buku B4B di-launch di ajang Konferensi Asosiasi Industri Layanan Teknologi? Karena tinjauan implementasi dan implikasi logika B4B, lebih mudah terlihat di perusahaan-perusahaan berbasis IT dan bisnis online. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskannya.
Yang pertama, karena ada fakta mengejutkan: Bahwa di zaman serba digital, ketika koneksi dan online sudah menjadi default, kenyataannya, kebanyakan industri –termasuk industri Teknologi Informasi yang sarat kecanggihan teknologi termutakhir pun– mayoritas masih berkutat ngomongin product. Belum berorientasi men-deliver aspek outcome, atau result, setelah produk tadi dikonsumsi atau digunakan.
Umumnya masih sekadar bergaduh ‘Jualan perbedaan’ Produk. Bukan bagaimana memberi Solusi. Sekadar ‘Jualan’ untuk bikin laku dan terjual. Belum berorientasi solusinya dibeli. Sehingga, yang dari waktu ke waktu dijadikan iming-iming dan daya persuasi agar konsumen (terpaksa) membeli dan (ingin) membeli lagi, adalah ragam feature tambahan, di Produk keluaran yang lebih mutakhir. Bukan fungsi dan faedah penggunaanya. Ini harus jadi renungan salesman dan marketer dari industri lainnya. Karena, kecenderungan sikap dan logika fikirnya sama.
Alasan kedua, ada fakta mengejutkan ini: Ternyata mayoritas pemain industri IT banyak yang salah kira, tentang darimana dan bagaimana mereka bisa mendapat peluang bisnis lebih besar dibanding yang ada saat ini.
Kebanyakan masih sekadar ‘Jualan’ hal-hal yang basic, elementer. Jualannya taktikal. Walau ada juga memang, yang menawarkan aspek complex/complicated dalam jualannya. Tapi rata-rata masih mengira optimization, adalah cara agar produk yang terjual, tampak layak jual. Ini juga pelajaran bagi marketer dan salesman industri lainnya.
Mereka lupa, kesanggupan Customer membeli produk, tak berarti otomatis menjadikan mereka bisa menggunakannya dengan benar. Walau sanggup membeli produk berongkos mahal, bukan jaminan Customer pasti mendapatkan kemanfaatan, apalagi efisiensi ROI.
Lantas, fakta mengejutkan yang ketiga: Semakin banyak feature ditambahkan, semakin kompleks dan rumit pula Produk tersebut di mata Customer. Ini juga terjadi di industri lainnya.
Padahal, gara-gara kompleksitas produk yang dijual makin meningkat, terjadi yang disebut consumption gap. Sehingga, value objectives dari Customer pun, menjadi makin sulit tercapai. Akibatnya, produk yang sudah terlanjur dibeli si Customer dengan harga mahal tadi, gagal dinikmati secara optimal. (Baca: customer membayar terlalu mahal dibanding efektivitas kemanfaatan yang diperolehnya). Dan atas ‘kerugian’ ini, Customer musti harus menanggung risikonya, sendirian.
Fakta mengejutkan berikutnya: Produk yang tingkat kompleksitasnya tinggi, mengakibatkan Customer harus menanggung beaya pengelolaan/pemeliharaan, dan perawatan/perbaikan potensi kerusakan, yang mahal. Secara rerata antara 70% hingga 100%! Padahal, harusnya, dengan alokasi anggaran yang sama, Customer bisa mendaptkan ragam dan kapabilitas teknologi yang lebih mutakhir dan inovatif. Artinya, antara aspek Risk versus Reward, ternyata gak nyambung. Padahal, sekali lagi, atas dampak ‘kerugian’ begini, Customer musti harus menanggung risikonya, sendirian.
Mindset B4B: Supplier Harus Komit Ikut Menanggung Risiko Customer
Implementasi B4B akan mengubah konsep ‘Jualan’ yang selama ini kita pahami. Karena B4B tak sekadar cuma urusan negosiasi Harga. Bukan merupakan taktik jualan baru, yang tujuannya bikin ludes dagangan. Melainkan, ini adalah paradigma yang menuntut berubahnya porsi, peran, komitmen dan tanggungjawab produsen/supplier.
Dari sekadar (tadinya cuma) menyediakan dukungan teknis terkait produk yang dibayar pembeli, kini supplier dituntut harus berperan menjadi business partner. Kalau awalnya sekadar berorientasi menjual sebanyak-banyaknya produk, Supplier kini dituntut beriktikad mau berbagi dampak risiko, paska produknya dikonsumsi atau digunakan pelanggan.
Kalau tadinya yang jadi ukuran adalah customer satisfaction (kepuasan pelanggan), maka, supplier kini dituntut bisa memastikan produk/jasa yang dikonsumsi pengguna, benar-benar memberi faedah secara bisnis, sekaligus mempermudah kehidupan Customer.
B4B memang bukan konsep jualan berorientasi profit. Tapi tentang strategi me-manajemen-i ekspektasinya Customer. Caranya dengan memastikan kepentingan/bisnis pengguna mendapatkan outcome yang optimum. Pun mengubah yang mess jadi meaning. Sehingga menjadikan pembeli tidak kapok –walau pernah dikerjai dan jadi korban eksploitasi. Sehingga tetap mau mampir lagi. Tak jera membeli lebih banyak lagi. Berulang kali. Karena yang diinginkan Customer adalah puas bisa membeli produk yang diinginkannya, yang kualitasnya pas, pantas dengan harganya.
Memang ada kesamaan spirit dan nilai dari B4B terhadap konsep ‘Jualan’ secara tradisional, seperti dikupas di posting ini: Hubungan penjual-pembeli (idealnya) adalah relasi partnership. Interaksinya harus simbiotik-mutualistik. Tidak berorientasi selfish. Harus bersikap tanggungjawab. Dalam istilah klise-nya, penjual harus mengutamakan kepentingan pelanggan.
Karena, saat ini, produklah yang cari pembeli. Bukan sebaliknya. Maka, Penjual tak bisa lagi sekadar jualan yang pengin dijualnya. Jika yang dijualnya tak sesuai ekspektasi dan kebutuhan pembeli, berarti modus jualannya memaksakan yang tak Customer butuhkan. Maka jangan kaget kalau setelah beli, customer lantas pergi, dan tak pernah mau kembali lagi.
Mudah-mudahan masih ingat dengan fenomena paradoks ini: Yang dikonsumsi bukan berarti pasti disukai. Yang dibeli, tak otomatis adalah yang diinginkan pembeli. Karena yang dipilih dan digunakan, belum tentu adalah yang benar-benar diharapkan. Cuma dengan optimasi nilai tambah dan penajaman kriteria produk atau jasa, maka ‘Jual-Beli’ akan menjadi transaksi yang fair: tak sekadar negosiasi harga murah.
‘Jualan’ ala B4B Berorientasi Customer Outcome
Secara menarik, buku B4B ini mengupas bagaimana applikasi dan software, tanpa kita sadari, telah menyantap, mengunyah dan melumat segala aspek kehidupan manusia –lengkap beserta industri yang terkait dengannya. Buku ini juga mengurai bahaya tersembunyi cloud computing –yang efeknya mempercepat efek komoditisasi produk dan brand. Juga tentang perlunya mewaspadai disrupsi sebagai dampak fenomena ‘percakapan’ antara mesin-dengan-mesin. Pun tentang bagaimana ethic/moral values kini makin banyak yang ter-shifted dari physical (pun wearable) devices/gadget/equipment. Serta tentang perlunya giant company dan big business, mewaspadai fenomena the rise of the niche dan small entities.
Pesan mendasar yang tersirat dari buku tadi: Bahwa orientasi ‘Jualan’ di era serba-digital saat ini dan ke depan, harusnya bukan sekadar mengandalkan kecanggihan produk dan feature teknologi. Melainkan, harus mengutamakan urusan Manusia (termasuk pelanggan dan pengguna), serta pentingnya memahami aspek Kemanusiaan. Tentang pola hubungan human-to-human. Serta interaksi di level People-to-People. Kenapa? Karena, kini kita telah sampai di era customer centricity. Artinya, relations, emotion, feeling, human touch, kini dan ke depan, adalah aspek yang makin menentukan.
Seperti dikupas di posting sebelumnya, jualan memang tak boleh diidentikkan dengan harga dan banyaknya laba. ‘Jualan’ tak boleh dikonotasikan sebagai tindakan memaksa. Apalagi ngibul, menjebak dan menjerumuskan Customer. ‘Jualan’ bukan tentang siasat dan tipu-tipu, agar dagangan ludes terjual. Karena antara laku, terjual dan dibeli, satu-sama-lain saling berbeda makna. Pembeli bukan obyek, yang bisa dijadikan korban percobaan, dan dijadikan bulan-bulanan. Karena yang pembeli butuhkan justru problem solving.
Dalam konteks ini, customer harus kian ekstra mewaspadai gimmick gratisan. Apa untungnya bisa mendapatkan dan menikmati iming-iming gratisan, kalo tak mendapatkan yang pantas kita dapatkan? Apalagi kalau iming-iming gratisan tadi ternyata cuma ‘jebakan’ ekploitasi pelanggan.
“What we’ve always done, doesn’t apply forever.” Begitu ujar ungkapan orang bijak. Karena, kata Albert Einstein, perubahan outcome, tak bisa diperoleh dari tatacara dan tindakan yang sama, berulang-ulang. Maka, ketika waktu bergerak, logika bisnis yang dijalankan pun, mustinya juga berubah. Karena kebutuhan dan tuntutan Customer pun, kini tak sama dibanding sebelumnya.
Sejarah mengajarkan, model bisnis yang unsustainable tidak akan bisa bikin sustainable. Sehingga, rata-rata perusahaan B2B yang tak mengubah business models-nya yang unsustainable, riwayatnya bakal unsustainable.
Dibanding model B2B, berbisnis dengan orientasi business-for-business diyakini lebih menjanjikan potensi sukses. Karena di zaman yang disebut dengan istilah ‘the Age of Services’ ini, yang sekadar ‘Jualan’ tapi masih salah memahami makna ‘melayani’, berarti mempercepat kematiannya sendiri. Begitu. \kris moerwanto
Tinggalkan komentar