Paparan hasil survey Nielsen Indonesia bertajuk Uncommon Sense of the Consumer, yang dirilis 6 Maret 2013 kemarin, layak jadi renungan pembelajaran. Beragam uncommon insight dan anomali ada di paparan Nielsen tersebut. Banyak fakta mengejutkan ditemukan. Menariknya, banyak di antara temuan itu, ternyata berlawanan dengan keyakinan yang dianut publik.
Termasuk temuan yang uncommon adalah tentang anomali cara audiens mengkonsumsi dan menggunakan media (baik media tradisional maupun modern). Anomali pilihan tempat mengkonsumsi media. Dan bertambahnya waktu yang dihabiskan untuk mengkonsumsi media.
Hal menarik juga ditemui dalam aspek pengukuran Media: besaran Rating, Reach, Penetration atau coverage area kini makin tak menjadi indikator dominan. Angkanya bahkan saling bertolak belakang. Apalagi jika dikaitkan dengan aspek Resonance, Reaction, atau Revenue. Bisa dikatakan, kini, Rating TV, tak berkorelasi langsung pada minat pengiklan untuk mensponsori acara. Artinya, Rating tak menjadi faktor tunggal penentu keputusan beriklan. Juga tak menjadi penentu bentuk pilihan cara beriklan.
Dengan Reach TV yang 94% misalnya, Rating penonton TV ternyata malah cenderung menurun, di kisaran 12,2% dari angka awal 13% di tahun 2011. Antara lain, ini disebabkan jumlah penonton TV yang menyusut — implikasi dari akses menonton TV kini bisa dilakukan via handheld dan kanal alternative seperti Youtube. Tapi waktu yang dihabiskan pemirsa menonton program tayangan TV, justru makin lama: hingga 4 jam 40 menit rata-rata per hari. Loyalitas penonton terhadap program acara pun meningkat. Pada 2010, angka loyalitasnya 14,9% dibanding 13,6% setahun sebelumnya. Lantas melonjak menjadi 18% setahun berikutnya. Dan tahun 2012 naik lagi menjadi 18,4%.
Boleh jadi, ini bisa menjadi petunjuk terjadinya pergeseran: Mass Media yang secara tradisional menyasar audience secara massif, kini shifting ke Mesh Wedia yang cenderung dikonsumsi di level peer atau kelompok minat/kepentingan. Statistik kuantitatif memang bisa menyesatkan, jika tak diimbangi pemahaman yang insightful atas profil audiens.
Asumsi bahwa berita di media tradisional kini makin banyak dibaca secara digital, sehingga (disebut-sebut) menjadi penyebab media tradisional terancam gulung tikar (karena kehilangan pembacanya), pun ternyata tak tampak di data survey terbaru itu. Paparan Nielsen justru menemukan, bagi audiens Indonesia, Internet adalah bukan Media untuk membaca berita. Pun juga bukan platform utama pengakses dan pencarian berita. Sehingga, relative tak berimplikasi menegasi apalagi meniadakan eksistensi media tradisional.
Survey menemukan, alasan utama audiens Indonesia ber-Internet (75,3%), adalah memakainya sebagai platform membangun jejaring social/pertemanan. Internet di sini juga lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang bersifat hiburan dan kesenangan, ketimbang sebagai peranti solusi bisnis dan atau urusan kantor.
Selain untuk ber-jejaring sosial, aktivitas ber-Internet yang paling banyak dilakukan adalah browsing atau surfing (43,5%), main games (41,9%), mendengarkan music (37,2%), dan mengunduh files atau peranti lunak (37,3%). Tak seperti persepsi yang banyak berkembang selama ini, dari 10 aktivitas ber-Internet, membaca berita –lokal dan internasional– justru ada di urutan pertama dan kedua paling terbawah, yakni 22,2% dan 18,6%.
Dalam hal pilihan tempat untuk ber-Internet, survey terbaru Nielsen juga menemukan hal berbeda dari “biasanya”. Kini, publik lebih banyak mengakses Internet (47%) dari rumah. Cuma 11% yang mengakses dari kantor. Yang mengakses dari Internet café (atau Warnet) juga menyusut dari awalnya 41% tinggal jadi 28%.
Yang mengakses di tempat yang dikategorikan some other places juga tersisa 11%, dari yang tadinya sebanyak dua kali lipatnya. Begitu pun yang ber-Internet di Kampus, juga turun ke angka 2% saja. Tak heran, dengan pergeseran ini, mayoritas mengaksesnya via desktop atau komputer meja (59%), bukan menggunakan handphone (56%) atau Laptop (27%).
Sementara itu, media tradisional, termasuk TV dan Koran, ternyata masih berperan penting dan dipercaya publik. Bahkan level konsumsi berita berbasis media cetak, meliputi Koran, Majalah, Tabloid, angkanya konstan dan bahkan cenderung meningkat. Waktu yang digunakan mengkonsumsi pun cenderung lebih lama, dibanding periode setahun sebelumnya.
Di Majalah misalnya, pembacanya naik dari 5% ke 7%, dengan durasi konsumsi naik 44 menit. Pembaca Tabloid, bertumbuh menjadi 8%, dan Koran di angka 13% dengan peningkatan waktu konsumsi 31 menit dan 39 menit.
Gaya hidup Digital memang mengkontribusikan naiknya penetrasi penggunaan Internet di Indonesia menjadi 30%. Namun, secara porsi budget, alokasi untuk belanja digital hingga saat ini masih belum signifikan, sekitar di bawah 5%-an.Yang mendominasi masih tetap media tradisional: TV mengambil porsi terbesar, 64%. Sementara Koran dan Majalah, 33% dan 3%.
Temuan survey Nielsen bahwa public masih percaya dan mengandalkan media tradisional, senada dengan temuan survey Nielsen sebelumnya, seperti juga temuan survey global Adobe-Edelman Berland 2012 dan survey global Edelman Trust Barometer 2013.
Tentu saja, peningkatan kepercayaan itu, membawa berkah terdongkraknya total billing iklan di masing-masing Media tradisional. Total belanja iklan di Majalah yang berasal dari iklan produk dan merek otomotif, misalnya, menurut survey Nielsen bertumbuh 7%. Sementara di Koran, pertumbuhan kategori korporat, PSA dan otomotif, mencapai 14% di TV, 24%.
Bertumbuh luarbiasanya kelas menengah Indonesia – menurut data Bank Indonesia populasinya mencapai 160 juta dengan pertambahan rata-rata 9 juta orang per tahun – ternyata juga menjadi faktor yang menguntungkan media tradisional. Daya beli, selera belanja dan kebutuhan segmen kelas menengah untuk mengaktualisasikan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan pokoknya, menjadi pemicu industri gaya hidup untuk berpromosi. Termasuk yang terimplikasi adalah pertumbuhan billing belanja produk kategori snack, biscuit, cookies, cake bahkan ice cream.
Ditinjau dari pertumbuhan belanja iklan, survey Nielsen mencatat, selama periode setahun terakhir kategori snack, biscuit, cookies, dan cake memang mengalami peningkatan yang paling luarbiasa. Total belanja iklan dari produk dan merek kategori tersebut di media tradisional tahun 2012, tercatat senilai Rp 2.140.989 (dalam jutaan). Atau berarti meningkat hingga 59% dibanding setahun sebelumnya.
Mudah ditebak, sesuai dengan karakter produk dan merek kategori fast moving consumer goods, belanja iklan kudapan/snack gaya hidup tersebut, paling banyak memanfaatkan TV sebagai medium berpromosi. Kenaikan billing yang dikontribusikan hingga 60%. Tapi Koran dan Majalah pun, ikut dapat berkah. Masing-masing, mencatatkan kenaikan billing dari kategori ini sebanyak 36% dan 23%.
Hikmah yang bisa ditarik, bicara tentang Media dan bisnis promosi dan pengantaran pesan, memang tak bisa terlepas dari aspek kepercayaan dan keterandalan. Itu berlaku sama, baik untuk media tradisional maupun media digital. Ragam medium bukan untuk saling dinegasikan dan dihadapkan secara diametral. Justru pemanfaatan berbasis multi-platform, akan memberikan hasil jauh lebih produktif. Karena, seberapa pun perubahan lansekap media ke depan berkembang ke arah digitalisasi, cara audiens bermedia, dan bagaimana konten media digunakan, bermuaranya tetap di dua aspek tadi. \kris moerwanto
Sumber ilustrasi: http://ow.ly/iEhoi
Dalam survey Nielsen juga disebutkan bahwa media cetak jauh lbh efektif untuk menjelaskan keunggulan sebuah produk—-di tengah kompetiti yg ketat—-ketimbang media TV yg lebih bersifat untuk awarness.
Menurut saya sih, sebuah media tidak akan pindah ke media lain, karena itu sama saja bunuh diri, kecuali kalau media itu berencana utk berubah jadi media lain.
kabar baik bagi pengelola media…. Setidaknya ada semangat bahwa media tradisional masih bisa bertahan hidup. Makasih Mas Kris atas pencerahannya.
Mungkin yang lebih penting bukan sekadar “….bahwa media tradisional masih bisa bertahan hidup”, melainkan upaya-upaya taktis dan strategis apa agar media tradisional tetap bisa berperan relevan di tengah perubahan zaman, hehehehe. Karena ini bukan sesuatu yang given, maka media yang tak berupaya cukup keras menjadikan dirinya relevan, tak akan mendapat kesempatan kedua untuk menjadi relevan. Semoga berfaedah
Reblogged this on katakotakita.
[…] survey Nielsen Indonesia bertajuk Uncommon Sense of the Consumer , yang dirilis 6 Maret 2013, juga mendapatkan temuan serupa. Di antara temuanuncommon tersebut, […]
malam, mas Kris. Terima kasih untuk tulisan ini, sangat bermanfaat bagi saya, terutama ketika mengerjakan penelitian skripsi saya terkait pergeseran era ke era digital yang disebut-sebut sbg tantangan bagi media cetak.
saya pernah membaca data survei nielsen ini beberapa bulan lalu dan saya noted bersumber dari Kompas.com , tapi ketika saya telusur lagi, berita sudah tidak didapat.
mas, boleh tau referensi survei nielsen ini bisa didapat dimana?
mohon bantuannya. terima kasih, mas Kris.
salam