Source: http://bit.ly/1dklUIv
Content is Infinite. But Attention is Finite. Beware Disruption.
Fakta ini mengejutkan! Sejumlah 52% perusahaan Fortune 500, telah lenyap sejak Tahun 2000. Selama periode itu, keutuhan organisasi di 97% perusahaan, telah rusak. Penyebabnya, bukan karena para perusahaan kampiun Global itu tak fleksibel dan kurang adaptif terhadap perubahan. Bukan pula karena mereka bersikap puritan, kolot, dan tak bervisi masa depan. Tapi, karena menjadi korban Disruption Revolution. Boleh jadi, karena banyak yang lupa atau salah membaca fenomena Long Tail.
Tanpa banyak yang nyadar, lansekap Media ternyata sudah mengalami disruption. Efek Revolusi Konsumen telah mengubah wajah lansekap tak lagi seperti yang kita kenal selama ini. Sekadar content dan story telling tak lagi mampu berdaya pikat. Apalagi berdaya ikat. Cuma mengandalkan hanya satu medium tunggal pengantar pesan, lalu berharap akan terpicu visibility dan engagement yang optimal, sudah tak bisa lagi.
Ini semacam wakeup call bagi praktisi Media, periklanan, komunikasi dan pemasaran. Pun tak terkecuali konsultan politik. Karena tak ada industri yang kebal terhadap dampak ‘perusakan’ badai disruptive ini. Termasuk industri hospitality, consumer goods, dan farmasi, Juga ritel, pendidikan, perbankan, bahkan Media. Apalagi, at the end of the day, bukankah semua company akhirnya harus menrampilkan diri berkemampuan layaknya Media Company beneran?.
Seperti diulas di posting ini, konsumen yang kian mencerdas, tak bisa lagi sepenuhnya ‘dikendalikan’ sekadar dengan memanipulasi hasrat instingtifnya. Motif need, want, expectation, tak lagi semenentukan seperti dulu. Dorongan to inform, persuade dan remind, efek geraknya tak seoptimal tadinya. Pengaruh aspek attention, interest, search, action, share, bukan lagi segala-galanya. Keunggulan accesability, own dan shareability, tak lagi istimewa.
Tanpa bisa menjadikan audiens berpengetahuan secara proper –tak sekadar cuma terinformasikan, lho ya– semua tadi, percuma. Karena attitude, sentiment, apriori dan personalized customization lebih powerful daripada relations. Mass-personalized at scale lebih ‘megang’ daripada sekadar conversation. Bahkan dibanding kekuatan engagement. Shared-values-based movement lebih ‘mengubah’ ketimbang cuma trending topic dan commitment.
Setidaknya ada dua aspek disruption yang mengubah wajah Media atau ‘media’ ke depan. Yang pertama, terkait pergeseran dominasi game changer di ranah industrial.
Dulu, hampir separo periode awal abad 20, orientasi industri adalah di product. Tulang punggungnya adalah manufacture. Sehingga yang paling banyak menghasilkan adalah yang terunggul. Yang bisa menjual ke sebanyak-banyaknya konsumen, berarti juaranya. Maka jumlah pabrik dan kapasitas produksi, menjadi aspek krusial andalannya.
Kemudian era berganti. Ketersediaan (availability) dan kecepatan pemenuhan kebutuhan konsumen, dianggap lebih penting. Maka strategi distribusi, pengadaan-pengiriman, supply chain dan just-in-time management, menjadi kunci menang perang. Ketersebaran, perluasan tebaran jalur distribusi, serta keterhubungan antar-titik pasar potensial, adalah penentu brand jadi pemenang, atau pecundang.
Tapi turbulensi lagi-lagi mengubah lansekap. Kejayaan era distribusi, lewat. Yang dianggap powerful, berganti menjadi information. Sehingga, yang menguasai dan mengendalikan aliran informasi, adalah pemenang sejati kompetisi.
Kemudian terjadilah disruption. Sampailah kita di era ‘Pelanggan yang terberdayakan’. Chaotic Era. Zaman kita hidup sekarang. Gara-gara kecamuk Revolusi Disrupsi, kini yang jadi disruptor-nya adalah Konsumen. Faktor keunggulan jumlah, jangkauan/ketersebaran, atau informasi tentang product/brand, tak lagi mendominasi. Kini, yang determinan mengubah aturan main, adalah fenomena Long Tail. Yang unggul di zaman mawut sekarang, adalah brand yang bisa bikin customer di peer level, ‘berpengetahuan’. Yang menang, adalah yang bisa mengubah ‘sikap’ pelanggan ‘sempit’, sehingga ‘terberdayakan’ melalui ‘penyadaran’ atas makna ‘pesan berkriteria’.
Disruption kedua, terkait implikasi revolusi senyap oleh konsumen. Didorong kebutuhan aktualisasi dan peningkatan ekspektasi Generasi Millenial/Y dan Z. Dipicu kesadaran kian langkanya resources. Yang menggeser konsep Own, Access dan Share. Melahirkan antara lain, konsep partisipasi dan share economy. Pun collaborative consumption. Juga collective buying scheme. Bahkan social intelligence. Jangan heran, pertanyaan konsumen yang awalnya cuma berkutat ke What, Where dan When, kini shift ke How dan Why. Customer demand makin dipengaruhi gugatan skeptis why behind the buy.
Fenomena itu, ada yang mengistilahkan serious game. Karena memang efek disrupsinya menjungkir-balikkan logika kenormalan yang selama ini kita anggap lazim, benar dan masuk akal. Mengubah business revenue model. Pun berefek ke cara berbisnis. Juga pola customer treatment. Bahkan strategi brand communication serta engagement.
Akibat disruption, wajah lansekap Media berubah. Efek disrupsi mengubah peta. Tak lagi sesederhana mendiametralkan Koran (dan Media Tradisional), versus Media online atau Digital. Dalam ekosistem barunya saat ini, Media juga tak lagi dipilah berdasar karakternya: own, earn dan paid media. Tak lagi.
Kajian Media oleh Edelman, Pew atau Harvard, misalnya justru memosisikan traditional media tetap berperan penting. Saling sambung dan memberi efek saling menguatkan, terhadap Media hybrid (baca: versi online dari Media Tradisional), serta own media (termasuk website dan akun blog korporasi), dan share platform.
Rumus klasik jurnalistik, yakni 5W + 1H (who, what, where, when, why dan how) kini butuh komplementasi. Misalnya ‘Wow’ factor dan awesomeness. ‘Wham’ effect. What’s the next after what’s next. Yang bisa bikin audiens want the more.
Sumber, cara, dan alur distribusi konten digital pun terdisrupsi. Awalnya berbasis Portal. Kemudian bergeser ke Search Engine. Lantas mengacu ke percakapan tergaduh di Social Media. Dan yang terbaru sekarang, menjadikan social sharing application atau platform di peer level, sebagai basis pijakan.
Akibatnya, ke depan, sekadar mengandalkan strategi search engine optimization, menjadi tak cukup lagi. Ketika algorithm makin identik dengan sesuatu yang ‘jahat’, SEO pun makin diasosiatifkan secara negatif. Misalnya dipersepsi sebagai ketrampilan ‘mengakali mesin’ dan trik ‘mencurangi sistem’ –melalui manipulasi frasa dan keyword atau modifikasi URL. Demi page rank, dan findability.
Maka digital presence, juga reach dan exposure, kini tak lagi dimaknai sekadar optimasi visibility dan viability. Harus diimbangi brand influence optimization. Fokusnya musti ke people. Melibatkan feel dan human touch. Via aspek human-purposive contextually. Maka, new digital-reach strategy di new-age of search, kini makin dibutuhan.
Uniknya, pergeseran akibat disrupsi justru mengantarkan media tradisional menemukan peran barunya yang kian penting. Bukannya tergradasi, justru, ada efek interplay. Menjadikan koeksistensi old dan new media menjadi kekuatan yang saling komplementer dan sinergis.
Ini faktanya: jurnalis menjadikan ‘kegaduhan’ dan topic yang dipercakapkan di Social media dan atau social sharing platform sebagai rujukan awal siklus aktivitas reportasenya. Tapi ketika hasil reportase jurnalis telah menjadi produk di media tradisional yang kredibel, peran social media berubah jadi corong (speaker sekaligus amplifier)-nya. Menjadikan efek repetisi, resonansi, review, rekomendasi, lebih bereputasi dan trusted. Maka, ke depan, aspek parallel media consumption, makin krusial.
Pergeseran tersebut sekaligus menyadarkan kita, bahwa channel dan atau pipeline tak lagi dianggap penting oleh audiens. (baca: konsumen makin ‘tak peduli’). Karena yang terjadi ketika audiens mengakses, mengkonsumsi atau sharing informasi, peran channel sudah digeser continous experiences. Interaksi secara enduring lebih bermakna, daripada episodic. Karena yang lebih krusial bagi smart consumer justru konten berkriteria. Bukan sekadar ketepatan dan akurasi. Tapi tentang aspek kredibilitas dan syarat ber-friend-approved. Lebih ke authenticity, originality, authority, auditability, dan trustworthiness dari sources. Serta efek purpose, useful/impactful dan karakter playfulness dari konten.
Story Telling termasuk yang ikut terdisrupsi. Bergeser ke interactive story discovery. Karena ‘ditemukan’, jauh lebih menentukan daripada ‘tercari’ oleh search engine. Ternyata ada makna yang makin berbeda secara signifikan, antara menemukan, ditemukan, tertemukan, dengan mencari, dicari dan tercari.
Ini, dipengaruhi trust level dari audiens terhadap sumber pesan/informasi. Seperti yang terungkap dalam laporan tergres Edelman Trust Barometer 2014, yang men-survey 27 market di seluruh dunia –termasuk Indonesia. Survey menemukan, kepercayaan (trust) audiens di Indonesia terhadap Media (khususnya media konvensional dan hybrid) skornya sama-sama 65%. Sila membandingkannya dengan Edelman Trust Barometer 2013, di sini.
Bahkan untuk kategori trust in source of information’, skor kepercayaan terhadap Media tradisional di 2014, naik ke angka 78%, dibanding 77% setahun silam. Skor ini melampaui skor kepercayaan audiens di Indonesia, terhadap pebisnis, LSM serta Pemerintah. Bahkan di mata audiens di sini, Media di Indonesia lebih trusted, ketimbang persepsi konsumen Global terhadap Media di berbagai negara: Skornya turun menjadi 52%, atau anjlog 5% dari level kepercayaan di tahun 2013.
Survey Edelman 2014 juga menampilkan temuan menarik. Bahwa word of mouth alias promosi getok tular, ternyata relatif kurang dipercaya (62%), ketimbang pendapat ahli (66%) atau akademisi (68%). Ternyata ada bedanya antara informed public, yang memiliki knowledge bersumber dari informasi Media kredibel. Terhadap general public, yang pengetahuannya berbasis open conversation.
Ke depan, bagi praktisi media, komunikasi, pemasaran dan periklanan, kedalaman knowledge harus dipersepsi sebagai comparative advantage.Karena efek knowledge adalah pen-disruptor. Tak mengherankan, banyak yang percaya brand journalism dan atau native ads, disebut-sebut sebagai masa depan public relation dan strategi promosi.
Ini sifatnya stratejik. Karena efek promosi ke depan, dituntut tak sekadar ‘jualan’, tapi juga harus bisa memberikan ‘efek perlindungan’ bagi brand. Strateginya, dengan merger antara peran editorial staff dari Media kredibel dan manajemen newsroom.
Di era gaduh saat ini, kebenaran memang makin tak bisa dimonopoli. Maka, Media dalam ekosistem barunya ke depan, harus menjadi jelmaan produk kolaboratif journo-analyst, brand owner dan content+communication strategist. Bekerjasama dengan graphic designer, story teller, serta IT specialist. Media berubah dari sekadar noun, kini dituntut shift menjadi verb, adjective. Bahkan narrative symbol sekaligus descriptive notation.
Ringkasnya, Media di eksosistem terbarunya, dituntut bukan sekadar ‘medium’ pengantar pesan. Tapi harus trampil memerankan tugas sebagai cara-sarana-wahana (menjadi connector sekaligus hub dan platform) di pasar sempit, berdemografi unik, dengan populasi spesifik.
Makanya, peran corporate communication makin bergeser menjadi reputation manager. Sementara praktisi public relation, ke depan dituntut perannya shift menjadi newsroom manager. Tak cukup sebatas berorientasi membina relasi dengan Media Outlet. Melainkan harus punya akses dan me-manage kompetensi industrial yang spesifik dari personal brand of Media.
Sudahkah kita berpersiapan memadai? Yang tak bernyali berubah, akan diubah. Atau keburu duluan punah. Apa pun industri yang kita geluti sekarang, pilihan yang tersisa buat kita cuma: menjadi disruptor, adaptif terhadap efek disrupsi, atau terdisrupsi. Waspada. Waspada. \kris moerwanto
Tinggalkan komentar