Planning is no use at all. Unless it degenerates into work.” – Peter Drucker
Ada semboyan: gagal berencana, adalah berencana untuk gagal. Tapi rencana yang “terlalu benar”, juga berpotensi menyebabkan kegagalan organisasi, dalam mencapai tujuannya.
Rencana yang “terlalu benar” tadi misalnya: gagal mengantisipasi potensi kendala yang tak bisa diantisipasi. Gara-gara kompleksitas permasalahan terlalu direduksi atau disimplifikasi (baca: gawatnya rintangan yang berpotensi menghadang di depan, terlalu disepelekan). Kompleksitas problematika dikerdilkan menjadi asumsi-asumsi yang moderat. Demi membuat rencana dan strategi menjadi tampak masuk akal, dan “tak terlalu menyeramkan”. Demi sekadar mudah dilaksanakan –walau belum tentu hasilnya sesuai harapan.
Menjelang pergantian ke tahun 2016, berbagai rapat evaluasi, perencanaan, budgeting, atau estimasi dan penyusunan strategi, pasti sudah dilakukan organisasi atau korporasi. Dengan membaca ulang artikel lawas Roger L. Martin tentang The Big Lie of Strategic Planning, fikiran kita akan bisa dibuat fresh lagi. Untuk mencermati kembali, apa saja sih, jebakan yang berpotensi bisa menjerumuskan penyusunan rencana stratejik ke depan?
Terkait itu, otokritik Richard Florida di versi revisi atas bukunya sendiri The Rise of the Creative Class, juga menarik digunakan sebagai pelajaran. Berbagai peristiwa, mulai dari bubble crash, hingga krisis Yunani, menjadi alat otokritiknya. Terkait cara pandang dan kontribusi kaum Kelas Kreatif, dalam ikut berperan mewujudkan cita-cita kehidupan masyarakat lebih baik, ke depan. Bagaimana teknologi, komunikasi, ras, dan kemiskinan, yang memperburuk kondisi sosial-ekonomi kemasyarakatan di level global, juga disorotinya.
Begitu pun, pandangan kritis Aliza Sherman di Social Media Engagement for Dummies, yang antara lain mengupas salah kaprah logika bersosial media, menarik menjadi renungan introspektif.
Tak pelak, perubahan konstelasi, pergeseran logika kreatif dan ketidaknyambungan terhadap realita kemasyarakatan, mengubah dasar perumusan asumsi bisnis ke depan. Yang pada gilirannya, akhirnya berdampak mengubah logika perencanaan stratejik organisasi dan korporasi.
Memahami Perubahan Menentukan Mutu Perencanaan
Beberapa contoh perubahan, yang bila dianggap remeh, bisa mengancam mutu perencanaan stratejik 2016, di antaranya: berubahnya kriteria sukses, pergeseran ukuran keunggulan dan taktik identifikasi ancaman. Ini, tak pelak, sangat berdampak ke cara bagaimana planning disusun.
Dulu, jumlah, atau sesuatu yang bersifat ‘banyak’, adalah indikator keunggulan. Padahal, kini justru sebaliknya: malah berpotensi menjadi ancaman (baca: faktor pembesar risiko). Begitu pun keluasan tapak dan volume. Kini berpotensi menggerus fokus kekuatan dan rentang kendali kewaspadaan. Padahal, dulu, ketersediaan, ketersebaran, keluasan jangkauan, adalah indikator pembukti kehebatan.
Berhubungan dengan logika ‘jumlah’ tersebut, simplifikasi berbahaya lainnya, adalah menggunakan zero-sum game sebagai logika alas, dari penyusunan perencanaan stratejik. Dalam logika ini, ketika satu aspek dicatat meningkat atau bertumbuh, maka secara simplistis disimpulkan, bahwa yang lainnya pasti turun. Bahwa aspek yang satu diasumsikan meniadakan aspek lainnya.
Logika simplistik begitu, lazim dipakai, ketika metoda tinjauan yang digunakan, bersifat diametral. Mengkonfrontir antara cara traditional terhadap inovasi baru, misalnya. Atau dengan mendiskriminasi alternative opsi, menggunakan logika versus. Ketika ada yang sunrise, maka diambil kesimpulan, bahwa yang lainnya pasti sedang sunset.
Contoh paradoks lain terkait kuantitas: bahwa yang disebut ‘jumlah’, kini bukan hitungan banyaknya obyek beratribut serupa. Tapi adalah akumulasi dari macam keragaman. Yang satu-sama-lain, ukuran volume pasarnya, bisa saja saling sempit. Sementara pasar sempit sendiri, maknanya bukan “sedikit.” Karena yang disebut sempit, tak identik dengan keterbatasan potensi.
Cara perencanaan secara berbeda, juga tak bisa dielakkan, ketika teknik jualan masa kini, approach-nya tidak secara eksplisit, dengan cara berjualan. Salah kaprah makna sell, yang cenderung berkonotasi agresif, negatif, harus diwaspadai. ‘Kan kini tak semua orang butuh semua yang ditawarkan? ‘Kan karakter pasar kini semakin me-long tail. Gara-gara sikap konsumen yang kian selektif, bahkan diskriminatif (dalam konotasi baik).
Perencanaan ke depan, juga mutlak harus mengeksplorasi keragaman klasifikasi dan kategori. Pun mempertimbangkan kekuatan karakter. Serta membedakan potensi dampak dari kriteria. Planning tak boleh terjebak sekadar style of management. Tapi harus menjadi pelaksanaan dari committing style.
Clue yang harus dipertimbangkan dalam membuat perencanaan baru di tengah berbagai fenomena paradoks di pasar nyata, adalah: segmentasi demografis kian irrelevant. Preferensi berbasis orientasi gender, kian kebolak-balik. Maka, produk/brand sekadar membidik segmen, tak lagi direkomendasi.
B2B vs. B4B. SWOT vs. TOWS
Hal itu, misalnya berkorelasi dengan makin pudarnya konsep B2B (business-to-business), seperti juga B2C (business-to-customer). Dibanding konsep yang usianya sudah ratusan tahun itu, paradigma business-for-business, alias B4B, dianggap lebih solutif. Ini, tentu mengubah logika planning. Apalagi, faktanya, antara konsep “laku”, “terjual” dan “dibeli”, satu-sama-lain ternyata semakin saling berbeda.
Mendahulukan analisis atas S (yakni: strength – kekuatan) dan W (weakness – kelemahan) ketimbang O-(pportunity) dan T-(hreats) juga bisa menjadi jebakan mispersepsi segmentatif dalam perencanaan. Karena analisa yang menggunakan urutan S-W-O-T, cenderung menyebabkan organisasi terlalu kepedean menilai dirinya.
Itu berakibat organisasi menjadi kurang sensitif membaca potensi ancaman yang tak kasat mata. Atau sebaliknya, gara-gara terlalu kepedean, lantas gagal mengenali potensi ancaman di balik yang dianggap sebagai aspek kekuatan dan potensi peluang. Pun cenderung tak cermat, mengenali potensi peluang, di balik ancaman dan kelemahan. Hanya karena sekilas ia tak tampak, lantas ia diabaikan.
Planner yang abai menilai taraf kegawatan sikon, biasanya cenderung abai menyiapkan strategi pendayagunaan kekuatan. Lupa mengubah aspek kerawanan, menjadi peluang baru keunggulan. Pun alpa berstrategi mengubah ancaman pelemah, menjadi kekuatan pembalik keadaan.
Efek kumulatif pengabaian semua tadi, planning yang dibikin cuma bagus di atas kertas doang, tapi mandul mengatasi tantangan nyata.
Makanya, cara pandang diametral yang mempertentangkan antar-elemen atau medium, menjadi makin tak cocok digunakan. Beruntung, dengan berjalannya waktu, mulai tumbuh kesadaran baru.
Faktanya, memang bukan medium, platform, format, apps, forum atau lainnya, yang menjadi alasan audiens berkerumun. Bukan online versus offline, yang harusnya dipolemikkan. Bukan pilihan or yang harusnya jadi opsi alternatif. Melainkan and.
Faktanya, ketika lansekap kian connected, ternyata pasar justru makin hyper-fragmented. Maka demi bisa memenangi pertarungan, brand lazimnya, lantas melakukan taktik diferensiasi. Misalnya dengan mengandalkan kekuatan uniqueness.
Tapi sekadar taktik ‘keunikan’, kebanyakan terlalu berorientasi produk. Atau, me-oriented. Padahal, yang dibutuhkan pengguna, adalah personalisasi solusi.
Maka, agar relevan, mustinya sifat dari layanan harus mengkastemisasi kebutuhan berbasis preferensi personal. Istilah kerennya: NOT personalization versus customization. But personalized customization. Maka, rumusan strategi planning-nya, mau-tak-mau, terdampak.
Maka, siasat mengaggregasi aspirasi, partisipasi, relevansi, ekspektasi hingga optimasi resonansi, yang mestinya diantisipasi. Bukan terkerangkeng oleh batasan medium, platform, format, apps, dan seterusnya. Ini wake-up call bagi perencana stratejik. Karena, ini tentang efek dari beyond itu semua.
Salah Kaprah Terbesar tentang Strategic Planning
Agar penyusunan strategic planning bisa lebih OK dan sip, kita juga perlu belajar apa saja yang bisa mengancam mutu perencanaan strategis. Misalnya gara-gara planner gagal membedakan antara “strategy” terhadap “plan”. Ini bisa dibilang merupakan miskonsepsi terbesar, yang lazim dijumpai saat penyusunan strategic planning.
Ini faktanya: banyak yang secara sembrono mengira strategic planning adalah serupa dengan blue print, atau roadmap. Bahkan strategic plan dianggap sama dengan strategy. Padahal “strategic”, maknanya beda dengan ‘strategy”. Dan strategy, bukanlah blue print atau roadmap.
Godaan lain yang bisa menyesatkan penyusunan strategic planning, adalah ketika planner berusaha membuat perencanaan yang dibikinnya, tampak “masuk akal” di mata board of director. Siasatnya, dengan diam-diam mengemas ulang plan lama (yang sebenarnya sudah usang), sehingga menjadi tampak baru lagi. Atau, planning dibuat ala-kadanya. Tidak kontroversial. Tidak mengundang banyak perdebatan saat pembahasan. Prinsipnya: “pokok-nya bisa dijalankan di lapangan.”
Ada juga kecenderungan planner lupa merencanakan cara mengatasi situasi-kondisi yang tak bisa diatasi. Secara simplistik, planner mengasumsikan semua kendala bisa diatasi via plan yang dibuatnya. Itu misalnya tercermin dari asumsi yang dibangun saat planning dirumuskan: diasumsikan sikon sekitar seakan “berhenti berubah”. Dan ketika plan yang disusun mulai diimplementasikan, sikon sekitar tetap diasumsikan, masih dalam keadaan seperti sebelumnya. (Baca: masih tetap tidak berubah.)
Itu situasi lazim di tengah suasana atau tekanan pro status quo. Apalagi di saat ekonomi lesu seperti sekarang.
Atau gara-gara manajemen organisasi terjebak kenyamanan comfort zone. Sehingga enggan melakukan perubahan yang diperlukan.
Akibatnya, ketika plan tadi diimplementasikan, organisasi sekadar hanya melakukan “yang bisa dilakukan”. Bukan melakukan “yang seharusnya diperlukan”.
Blunder lainnya adalah, kalau planner secara sembrono menerjemahkan yang disebut “rencana” atau plan, adalah rumusan hasil inventarisasi inisiatif tindakan, yang sudah dipertimbangkan masak-masak. Mereka lupa, agar “rencana” stratejik bisa berjalan efektif, dibutuhkan keterampilan bereaksi taktikal, inisiatif yang adaptif dan instingtif. Lupa bahwa yang bersifat “stratejik” sebenarnya terdiri atas banyak aspek taktis.
Makanya strategic planning butuh logika agile marketing: Yakni strategi berpikir besar dan berdampak meluas. Tapi pewujudannya, melalui cara dan tindakan taktikal berskala terbatas. Berorientasi personalisasi customer experience, approach-nya musti User-centred. Customer-focused. Responsive. Kolaboratif.
Ringkasnya: solutive, powerful, terukur, dan bisa dilakukan berulang-ulang. Di link ini ada contoh bahasannya.
Masih banyak lagi, sebenarnya, yang harus diwaspadai. Tapi, idealnya, perencanaan stratejik tak boleh cuma berorientasi mengantisipasi dan mengandalkan kesigapan bereaksi. Sebab, di zaman dengan perubahan sangat lekas saat ini, sekadar mengantisipasi dan bereaksi, akan selalu kalah cepat dibanding perubahan aksi itu sendiri.
Perubahan, pergeseran bahkan tubrukan antar-fenomena, ‘kan terus terjadi, kini dan ke depan. Maka, jika perubahan itu sekadar direspon secara reaktif, dengan metoda, mindset, dan siasat lawas, bukan disikapi secara seharusnya, maka strategic planning yang disusun, akan percuma saja: terancam gagal mengartikulasikan tantangan riil di lapangan, secara relevan dan purposive. Maka, betul wewanti Peter Drucker di awal artikel ini: tak ada gunanya punya rencana. \kris moerwanto.
Masih awam dlm dunia perencanaan, bnyak bahasa yg blm dpahami.. btw.. trims atas ilmunya pak.
Saya pun juga masih belajar. Mhn maaf, jika merepotkan. Maafkan. Mohon maklumi saya yang masih belajar.