Sumber ilustrasi: http://bit.ly/1u6nxNF
Pelajaran Paska-Gaduh Media di Pilpres 2014
.…information becomes a distraction, a form of entertainment, rather than a tool of empowerment, rather than a means of emancipation…. With so many voices clamoring for attention, it can be difficult, to know what to believe, to know who is telling the truth and who’s not. It’s putting new pressure on our country and our democracy – President Barack Obama.
Pilpres 2014, adalah panggung pertunjukan demokratisasi konten dan idea. Dengan segala ingar-bingarnya, Pilpres kemarin menunjukkan kepada kita, fenomena Revolusi Konsumen, ternyata benar-benar bertaji. Efek Prosumenity –producer-consumer-community– benar-benar memicu perubahan. Prediksi disruption revolution dan dampak ‘serious game’ benar-benar terbukti. Persis seperti yang kerap penulis gambarkan: ketika lansekap berangsur mem-flat, di saat itu hierarki pun perlahan runtuh. Otoritas secara vertikal pun, makin kehilangan pengaruh dominan. Loyalitas dan kepatuhan (obedience), menjadi tak lagi sakral. Bahkan sumber resmi (seakan-akan) tak perlu dipedulikan lagi. Karena kepercayaan publik, sudah berpaling kepada ‘pengetahuan’ dan ‘nilai’ yang dianut di level peers.
Masalahnya, kita semua sekarang ada di lansekap ‘baru’ Media yang belum pernah dikenal generasi manusia mana pun. Maka, agar berdemokrasi bisa konstruktif dan produktif, audiens dan konstituen dituntut terampil, bijak dan arif bermedia. Pasalnya, siapa pun pasti setuju, sikon chaotic gara-gara bermedia secara ceroboh, berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan. Tak kurang dari Presiden AS Barack Obama pun bilang, dia risau dengan kenyataan bahwa kegaduhan informasi di era always on saat ini, telah makin mendistraksi. Bahkan menjadi ancaman perusak Demokrasi. Ini kontradiktif dengan pendapat kebanyakan, bahwa efek inklusifitas dari jejaring Socmed di flatworld, akan mendorong demokrasi menjadi lebih kondusif. Karena, ketika hierarki dan censor barrier runtuh, maka suara publik diasumsikan akan lebih leluasa terekspresikan. Kontrol sosial atas kekuasaan pun, menjadi lebih bisa berjalan.
Tapi faktanya, dampak distraksi oleh informasi yang chaotic dan membingungkan, efeknya justru berpotensi mempersulit penggalangan dukungan politik. “Distraksi oleh informasi bisa mengancam dan merusak hakikat demokrasi. Karena partisipasi publik menjadi tereduksi,” Obama mewanti.
Untuk membahasnya, sebagai kelanjutan dari tiga posting terkait Jurnalisme Media, yakni di link ini, di tautan yang itu serta di sini, berikut direkapkan secara sederhana, apa saja hikmah pembelajaran yang bisa dicatat, di balik semua gaduh dan ingar-bingar Media selama Pilpres 2014 kemarin. Silakan menambahkan yang lain-lainnya 🙂
Jurnalisme Mengalami Shifting
Ingar-bingar Pemilu Presiden 2014, antara lain ditandai bergesernya cara, peran, fungsi, posisi, inter-relasi dan eksistensi Media dalam memerankan dirinya. Secara jurnalistik, sejumlah Media dituding mengalami shifting serius: Yang mereka kedepankan bukan lagi aspek jurnalistik. Bukan pertimbangan kelayakan atau mutu konten. Penyampaian kebenaran, dan kejernihan pesan pun, bukan agenda terpenting. Yang lebih diprioritaskan, justru aspek snackability. Alias kemudahan audiens mengunyah, menelan, dan mencerna pesan. Maka ada ungkapan ironik. Yang klaimnya paling tersebar, diidentikkan yang terbenar. Semakin bergaduh, dianggap bakal berpengaruh. Yang delivery-nya cepat, dibilang lebih hebat. Semakin bersuara keras, merasa dirinya pantas. Yang diberitakan sering, seakan-akan berarti leading.
Informasi Cuma Komoditi: Pemberitaan dan Dampaknya
Pilpres 2014, juga bisa dilihat sebagai panggung tarung. Antara pengaruh dan kekuatan selebriti versus influencer sekaligus kekuatan advocate. Masing-masing saling mengandalkan kekuatan euforia, terhadap kekuatan ide dan konsep, serta taktik-strategi komunikasi, versus kekuatan ‘sihir’ Media :-). Yang menarik, pemikat minat audiens, ternyata bukan apa dan siapa atau kenapa diberitakan. Yang disimak audiens adalah apa impact of importance-nya. Pengubah keadaan, bukan apa substansi yang diberitakan. Tapi bagaimana dampak atau implikasinya secara taktikal, di level kelompok, terhadap kepentingan dan eksistensi individual. Orisinalitas sumber pesan, otentisitas struktur pesan, pun otoritas dan kapasitas penerus pesan, dikalahkan peer-agenda dan tuntutan immediacy. Ini menjadikan informasi cuma sekadar komoditas. Yang dituntut pokoknya musti serba ringkas, dan lekas menyebar.
Cara Bisnis Media Dijalankan, Terdampak
Akibat itu, cara Media mengetahui dan melokalisir peristiwa/kejadian, pun tak lagi seperti dulu. Sumber, rujukan, kategori informasi yang ditelusuri pewarta pun, tak lagi sama. Alur, logika reportase, dan metode pelaporan Media, kini caranya berbeda. Itu mempengaruhi cara pengelolaan dan urusan bisnis Media dijalankan. Begitu pun, mengubah pola distribusi konten. Bahkan berdampak kepada strategi consumer engagement, loyalitas pelanggan, serta pola partisipasi audiens.
Media adalah Verb bahkan Adjective
Marshall McLuhan memang pernah bilang, bahwa Pesan adalah Media itu sendiri. Dan, yang berdampak mengubah bukan konten/isi medium atau Media. Melainkan karakternya. Yang dikatakan McLuhan terbukti benar, ketika masing-masing pemedia (social media user) menjelma menjadi Platform. Kepribadian dan watak (personality)-nya mewakili karakter Brand. Sementara sebagai Media, fungsi socmed makin terbukti bukan sekadar medium, platform, pipeline, atau wahana. Bukan sekadar alat tinjau dan pendorong efek dari obyek. Bukan sebatas moderator atau mediator. Bukan purveyor atau conveyor. Tapi adalah connector. Sebagai aggregator. Media adalah efek dari contextual encounter. Bergeser dari kata benda menjadi jelmaan simbol, notasi, kata kerja (verb), bahkan kata sifat (adjective): terkait kredibilitas karakter, reputasi, persepsi, integritas, sekaligus reliability dan engagement-ability di timeline.
Informasi Terdistorsi di Level Individu Audiens
Selama Pilpres, banyak tudingan dialamatkan kepada Mainstream Media. Dianggap tidak netral dan bersikap partisan. Sehingga, informasi yang disebarluaskan dan beredar, dinilai sarat kepentingan. Kontennya dinilai polutif dan difabrikasi agenda politik tertentu. Tapi, di tengah guyuran ragam jenis, jumlah, jangkauan dan pendeknya jeda penyebaran informasi polutan, ternyata distorsi dan bias informasi di level individu audiens pun, meningkat. Eskalasinya dikontribusikan maraknya aktivitas ber-Socmed dan euforia jurnalisme ala warga. Sulitnya menjerat pelaku black campaign via Socmed, seakan dimanfaatkan sebagai peluang oleh pihak-pihak yang beriktikad buruk. Yang sengaja menyebar-luaskan pesan provokasi dan agitasi, demi tujuan mempergaduh suasana saja. Tak heran, di tengah ingar-bingar kegaduhan black campaign, yang dominan terjadi adalah kesenjangan dan fenomena information-distorted individually (baca: dilakukan oleh oknum, bukan oleh buzzer bayaran atau timses pasangan Capres-Cawapres). Fairness, independency, indepth investigation, dikesampingkan. Apalagi akurasi, imparsialitas dan netralitas. Itu, bukan motivasi dan kriteria audiens bermedia. Pun bukan menjadi acuan socmed user partisan, berjurnalistik
Long Tail Journalism dan Dampak Radikalisasi Redistribusi Konten
Jurnalisme media-warga, makin me-Long Tailed. Ini sejalan fenomena End of Big. Terjadi efek redistribusi konten secara radikal. Yang membalikkan keadaaan normal. Ketidaklaziman dan spirit anti-mainstream, yang justru lebih dominan. Kekuatan ‘baru’ dari elemen 3F: friends, fans, followers, pengaruh societal influence dan social proof, menjadi andalan penentu ukuran, ranking, prioritas pilihan. Bahkan menggiring preferensi pilihan di pasar sempit. Efek redistribusi konten secara radikal di satu sisi adalah enabler. Tapi di sisi lain, merupakan ekspresi antipati, atas kebijakan konten Mainstream Media, yang kepentingan politiknya berlawanan. Sehingga kemudian memicu anarkisme dan tindak main hakim sendiri, oleh warga/kepentingan kelompok, yang terluka oleh pemberitaan Mainstream Media tersebut.
Fenomena Paradoks Komunikasi
Internet dan era serba digital, diasumsikan telah membuat audiens dan konstituen pendukung antarCapres-Cawapres, kian connected, well-informed, dan empowered. Tapi, cara, metoda, strategi berkomunikasi para Capres-Cawapres kepada konstituennya, justru kembali ke aspek yang simple dan humble. Kembali balik mementingkan aspek kesederhanaan. Mengandalkan empati personal. Mengutamakan sisi human side. Bahkan tak menuntut kemampuan berkomunikasi yang perfect, canggih atau ndakik-ndakik.
Euforia versus Substansi
Dinamika euforia dan gegap-gempitanya perang pernyataan antar-dua Kubu Capres-Cawapres, telah menenggelamkan pesan yang lebih substantif. Persepsi atas Jenis kategori dan kriteria informasi, lebih dijadikan acuan. Ketimbang pertimbangan akurasi, presisi dan konsekuensi dari substansi informasi. Begitu pun, kriteria yang digunakan sebagai rujukan saat memutuskan, tak mengacu pada analisis yang njlimet. Apalagi dasar pembuktian bersifat legal-formal yang terukur dan stratejik. Yang diandalkan justru hal yang praktikal. Kasat-mata dan common-sense. Seakan-akan, yang penting pokoknya rame.
Jujur Bukan Berarti Berkata Benar
Jujur ternyata tak identik harus mengatakan semua kebenaran. Istilah kerennya: tell the truth, but not the whole truth. Ini terkait fakta, bahwa informasi dan Media, kini dikonsumsi di level Peers. Atau kelompok seminat dan sekepentingan. Yang menganut versi kebenaran ala kelompok mereka sendiri. Akibat itu, ‘Kebenaran’ yang disebar-luaskan di Media makin menjadi sekadar ‘komoditi’. Bukan diukur dari terpenuhi-tidaknya syarat verifikasi, validasi dan konfirmasi obyektif. Mutu kebenaran (seakan) lebih mengandalkan kecanggihan merekayasa narasi. Sehingga substansi kebenaran menjadi bersifat relatif. Tergantung siapa subyeknya, agendanya, tujuannya dan kepentingannya. Dipengaruhi versi ‘Kebenaran’ ala peer compliancy. Atau yang dianut sebagai networked values.
Yang Dibutuhkan versus Yang Diinginkan
Di tengah gaduh, cara Publik berupaya tetap survive adalah dengan menutup telinga. Dengan mengambil jarak dari kegaduhan. Tapi, kalau pun harus, audiens cenderung hanya mau mendengar yang mereka mau dengar saja. Selektif, dan apriori, sesuai minat. Tak peduli itu jebakan, penggiringan, atau framing. Yang dipentingkan bukan kelayakan dan mutu kapasitas dan sumber konten. Sehingga, ketika harus mengambil keputusan, maka yang dijadikan acuan bukan teks atau kedalaman konteks. Bukan kriteria secara independen, berdasar pertimbangan ‘yang dibutuhkan’. Tapi, lebih cenderung mengandalkan kesamaan pilihan dari suara terbanyak. Ikut-ikutan ‘yang diinginkan oleh mayoritas audiens’. Maka kepentingan afirmasi pun, menggeser obyektivitas substansi informasi.
Salah Kaprah Influence Marketing
Dari hiruk-pikuk selama Pilpres, kita juga belajar, bahwa pemahaman kita tentang influence marketing, ternyata kurang pas. Bahwa ternyata bukan influencer, buzzer atau viral campaigner yang menjadi elemen terpenting dan harus jadi fokus. Karena Influence digeser Reputation dari source. Influence ternyata lebih tak bisa diandalkan, ketimbang Reputasi Sumber/Media. Reputasi kurator, lebih unggul dari kekuatan influence kreator atau komentator/pengamat. Makanya, justru kesesuaian topik dan nuansa serta cara pendistribusian konten yang relevan, kepada audiens yang cocok, terhadap kemasan yang pas, di momentum tepat, yang justru lebih berdaya tampol.
Outreach Lebih Powerful daripada Reach
Terkait hal di atas, kita juga bisa belajar tentang reach dan outreach effect. Dalam teori Media klasik diajarkan, bahwa indikator efektivitas penyebaran pesan oleh Media, antara lain diukur dari reach. Semakin jauh dan meluas jangkauan efek penyebaran pesan oleh Media, semakin Media tersebut dinilai efektif. Tapi era sudah berganti. Ketika masing-masing individu dalam audiens memiliki audiens-nya masing-masing, maka kini kekuatan pengaruh dalam peer-lah, yang justru lebih menentukan. Pendapat dalam closed-social circle, lebih dipatuhi. Makanya, faktor outreach lebih determinan. Tentang hal ini, Mark Zuckerberg, bos Facebook pernah mengingatkan: “Tak ada persuasi yang paling dipercaya, dibanding yang dilakukan oleh yang terpercaya dalam kelompok.”
Kunci Sehat Bermedia: Disiplin Verifikasi & Skepitisme Audiens
Demi sehat, produktif dan konstruktifnya Demokrasi ke depan, idealnya, siapa pun pemedia atau pelaku Media, dituntut harus bersikap konsekuen. Tak mengacu standar ganda yang ambigu dan pandang bulu, seperti selama ini. Artinya, ketika pemedia menuntut kebebasan bermedia, maka pada saat sama, harusnya mereka juga rela tabiatnya diikat dan diatur ketentuan, kaidah, aturan dan norma tentang hak dan kewajiban pemedia dalam bermedia. Baik yang diatur dalam UU Pokok Pers, Prinsip atau Kaidah Jurnalistik, Pedoman Perilaku Penyiaran, Tatakrama maupun pedoman bermedia lainnya.
Seperti yang telah diulas di posting sebelumnya, problem penerapan jurnalisme serius, terletak pada iktikad dan karakter pelakunya. Kendala pengantaran informasi yang berkualitas dari Media, dipengaruhi attitude, sikap sentiment, apriori serta prejudice berbasis networked-values dari audiens. Maka, sekadar relations, tak otomatis mencerminkan deep engagement. Connecting ternyata berbeda dengan belonging. Sehingga tak bisa lagi terlalu diandalkan. Ramainya conversation tak mencerminkan semua pesertanya paham etika ber-media-engagement. Bahkan yang gaduh menjadi trending topic, tak selalu berupa social object, yang layak talkable. Sehingga, belum pasti adalah aspirasi dari crowd.
Yang harus diingat, Media yang kredibel hanya bisa diwujudkan melalui kolaborasi dari empirisme publik. Bergantung kepada iktikad baik audiens. Butuh konsumen media yang tak mau digiring dan didikte. Bernyali dan mau repot membandingkan, mengejar dan membuktikan sendiri bukti-bukti kebenaran fungsional dari berita, pesan dan informasi. Percuma Media beriktikad baik, jika audiens-nya tak bertanggung-jawab. Begitu pun sebaliknya.
Harus disadari bersama, bahwa di tengah gaduh, ketika obyektivitas informasi tercampur aduk dengan asumsi, afirmasi, agitasi dan provokasi, audiens adalah sasaran empuk. Rentan dijadikan korban manipulasi kebenaran. Itu bukaan sekadar dugaan. Apalagi, kini makin sulit membedakan antara fakta terhadap gosip, rumor, desas-desus, atau opini subyektif narasumber/pengamat Media. Antara meyakini cerita, mempersepsi fakta, dan membuktikan kebenaran realita, bisa saja adalah tiga hal yang berbeda, dan saling berlawanan.
Di posting ini, dikupas ungkapan survival of the most focused. Maksudnya, yang ‘selamat’ di tengah badai isu dan banjir polusi informasi di zaman gaduh seperti sekarang ini, adalah yang paling ‘awas’ daya kritisnya. Yakni paling mampu mempertahankan fokus perhatian. Senantiasa berwaspada kepada ‘tanda-penanda-pertanda’ yang musti diperhatikan.
Maka, keterampilan audiens memilih, memilah, dan menyimpulkan ‘yang memang benar’, dari yang ‘tampaknya benar’, harus terus dilatih dan diasah. Bersikap kritis, skeptis (tak mudah percaya), pun terampil memverifikasi apa pun informasi yang dimiliki, adalah mutlak dan musti.
Bagaimana pun, seperti Brian Solis bilang, semakin masyarakat menyadari dirinya memiliki dan berperan dominan sebagai agen perubahan, termasuk dalam mewujudkan Demokrasi yang sehat, maka perubahan yang diinginkan menuju yang lebih baik, akan lebih lekas terwujud. Semoga. \kris moerwanto
Berarti tantangan baru nya adalah bagaimana Jurnalis sejati dan serta kelompok pembentuk opini kredibel menyikapi fenomena ini dan memberikan sumbangsih terhadap pendidikan mengelola informasi secara tepat. Menulis blog seperti ini menurut saya adalah salah satu caranya….
Benar Bu. Pengaruh dan trust-level dari Opinion/thought leader, academic+industrial expert, dalam survey mutakhir Edelman Trust Barometer, ukurannya makin ‘mengungguli’ Word of Mouth (yang selama ini dimitoskan sebagai the most trusted-source of information). Angkanya 78% vs 68%. Mungkin, ini dugaan/opini saya, karena di lansekap yang kian bising dan gaduh oleh guyuran non-stop pesan polutan dan propaganda, individu audiens dan atau peers, (akhirnya menyadari, bahwa mereka) makin butuh informasi yang bisa membuat lebih mudah exist, berpeluang survive, punya bargaining-position, dan punya referensi untuk memutuskan. Dalam konteks politik, itu bisa dipersepsi: berdemokrasi ke depan makin tak boleh meremehkan peer-power, networked-values, atau salah memahami influence-marketing dan outreach-effect 🙂