Sumber ilustrasi: http://bit.ly/1ryESy4
Jika kita menyampaikan kebohongan dengan cara yang meyakinkan, dan mengulangnya terus-menerus, maka masyarakat akhirnya akan bisa dibuat mempercayainya seakan itu adalah Kebenaran. Musuh terbesar dari Kebohongan adalah Kebenaran. Kebenaran pula musuh terbesar dari kepentingan yang sedang berkuasa.” -Joseph Goebbels, Reich Minister of Propaganda & National Enlightment, Nazi German
Artikel ini tak beriktikad memperkeruh situasi, terkait tudingan miring bahwa ada Media yang telah bersikap tak elok pada Pilpres 2014 lalu. Yang berbuntut kisruh pemberitaan quick count yang dituduh memperalat sejumlah Media cetak maupun elektronik. Posting ini juga bukan bermaksud memprovokasi publik, agar mengambil kesimpulan tertentu dalam menyikapi gaduh terkait desakan dari pihak, yang menuntut dicabutnya izin siaran sejumlah TV yang dinilai partisan dalam Pilpres 2014. Tapi, seperti yang telah disampaikan di posting sebelumnya, bahwa pada bagian kedua dari rangkaian artikel tentang Jurnalisme Media ini, kita memang akan khusus membahas tentang bagaimana trik mengenali upaya penyesatan informasi oleh Media.
Faktanya, ketika siapa pun kini bisa berperan layaknya sebagai pewarta Media betulan, efek negatif simpang siurnya pemberitaan malah makin parah. Akibatnya publik yang jadi korban penyesatan informasi menjadi bingung dan frustrasi. Bahkan yang tadinya sangsi, kini makin tak percaya bahkan antipati. Ketimbang terus-terusan menjadi korban Media, publik kini cenderung memilih menutup mata dan telinga. Puasa ber-Media, entah sampai kapan.
Gaduh dan bising akibat perang pernyataan antar-kedua kubu pasangan Capres-Cawapres, memang menyebabkan tidak mudah bagi awam, untuk bisa mendapatkan informasi yang jernih.
Seperti ungkapan terkenal dari Joseph Goebbels, menteri propaganda dan national enlighment Jerman di era Hitler dulu, bahwa kebohongan besar yang diulang-ulang secara meyakinkan, oleh audiens akhirnya akan dipersepsi menjadi benar-benar suatu ‘Kebenaran’ yang benar.
Karena siapa pun kini bisa punya pendapat sendiri. Pun (merasa) bebas menyebarluaskannya sebagai ‘Berita’, sesuai selera dan kepentingannya sendiri. Dan seperti sudah jadi hukum alam, bad news is good news. Berita buruk justru lebih cepat beredar, menjalar, menular bahkan membakar. Padahal, kebenaran dari ‘Berita’ tadi masih belum teruji. Kriteria, Etika, dan Tata Krama pemberitaan Media pun, belum tentu telah dipenuhi.
Fenomena kegaduhan dan fenomena banjir informasi ini juga berpotensi menciptakan situasi menjebak. Kerap tanpa disadari audiens, yang dikira sebagai ‘kebenaran’ pesan, adalah produk ‘kebenaran’ palsu yang sudah di-setting.
Akibatnya, informasi yang dikonfirmasi oleh para jurnalis Media pun, tak lebih dari sekadar ‘Kebenaran’ hasil rekayasa. Disampaikan oleh narasumber yang ternyata adalah bagian dari suatu grand design atas agenda kepentingan kelompok tertentu, dengan tujuan tertentu.
Dalam situasi banjir pesan seperti itu, kualitas ‘kebenaran’ informasi (seakan-akan) ditentukan kelihaian merekayasa narasi. Yang delivery-nya lebih cepat, lantas dianggap yang lebih hebat. Yang suaranya ternyaring, asumsinya yang paling penting. Makin gaduh, (dikira) makin berpengaruh. Yang pesannya terpapar lebih sering, merasa lebih leading. Yang porsinya lebih sering tersiar, mengklaim sebagai yang terbenar. Pun versi kebenaran yang dibayar, yang dipaksakan menjadi kebenaran faktual di alam bawah sadar.
Jika sudah seperti itu, maka realitas pun kemudian hanya soal keyakinan. Bukan sesuatu yang sifatnya obyektif. Apalagi terverifikasi. Yang dikira fakta nyata, bisa saja ternyata cuma fatamorgana belaka. Karena informasi ‘dikalahkan’ modus affirmasi. Fakta dimentahkan rekayasa Empati. Logika digeser Angka (baca: tebalnya lembaran yang diterima). Persepsi (walau subyektif, sumir, dan kebenarannya belum terverifikasi) digunakan sebagai modal utama berdebat dan adu argumentasi. Verifikasi dan keharusan konfirmasi dikalahkan tuntutan immediacy.
Nahasnya, era Internet dan perkembangan online Media, justru makin menambah gaduh dan parahnya komplikasi. Karut-marut pemberitaan seputar hasil quick count, adalah contoh faktualnya. Begitu pun berita insiden dugaan praktik kecurangan Pilpres di Hongkong, yang ternyata cuma isu, yang sengaja dihembuskan pihak-pihak tertentu via social media. Syukurlah, akhirnya isu tadi tak makin berkembang jadi bola liar. Karena akhirnya diklarifikasi pihak Konsulat Jenderal RI Hongkong , serta oleh Badan Pengawas Pemilu.
Berlimpahnya informasi, ternyata justru menambah risiko ketidak-cocokan dan bahkan kontradiksi antar-potongan informasi. Fenomena user generated content, culture of production, dan currency of sharing, yang diperparah tuntutan serba tergesa, adalah di antara pencetus simpang-siurnya berita yang terdengar.
Narasumber yang mestinya menjadi rujukan terpercaya pemberitaan media maupun Media, sayangnya juga cenderung sekadar beropini. Bahkan seakan ikut memprovokasi. Dengan ikut menyebar-luaskan prasangka tanpa bukti. Nahasnya, Media pun menerbitkan begitu saja opini dan prasangka tadi, seakan-akan sebagai ‘Fakta’ yang telah terkonfirmasi dan terverifikasi. Padahal ‘Kebenaran’ di Media –apalagi di social media– tak serta adalah benar-benar ‘Kebenaran’ sebenarnya.
Maklum saja, di lansekap yang kian flat seperti sekarang, ketika semua bisa punya pendapat masing-masing, kini fakta bisa memiliki banyak versi. Kini kebenaran tak lagi bisa dimonopoli sendiri. Bahkan oleh Media yang kredibel sekalipun. Sehingga bisa ada kebenaran versi si A. Tapi di saat sama, ada kebenaran lain lagi, menurut versi si B, si C dan seterusnya.
Mewaspadai Gaya Jurnalisme Media
Lantas, bagaimana mengetahui mana Media yang menyampaikan kebenaran? Bagaimana bisa membedakan mana Media yang sekadar menyampah? Bagaimana bisa tahu Media melakukan penggiringan dan penyesatan audiens dengan pesan fabrikasi?
Tidak mudah memang. Tapi, ada cara sederhana untuk membedakannya. Yakni, dengan cermat memperhatikan gaya jurnalisme yang dianut Media yang bersangkutan.
Maka, waspadailah Media yang mempraktikkan gaya Jurnalisme Pengukuhan (affirmative journalism). Gaya jurnalisme ini, lazim digunakan sebagai metode penyebaran berita politik. Cara kerjanya, didasari fenomena budaya berargumen, dan budaya men-setting jawaban (yang sudah disediakan, tanpa menunggu tanggapan dari pertanyaan), dengan berdasar agenda kepentingan tertentu.
Esensinya berupa penyebar-luasan propaganda yang (bisa berpotensi) manipulatif dan berpihak. Antara fakta, asumsi dan opini subyektif, sengaja dicampur aduk. Sehingga audiens tak merasa sedang disesatkan.
Gaya jurnalisme affirmative ini, cenderung ‘menyalah-gunakan’ jurnalistik sebagai cara ‘pembenaran’ atau jastifikasi pendapat mereka sendiri. Sudah ada framing yang disiapkan, sebelum wawancara dimulai. Bahkan narasumber wawancara pun sudah disortir dan didiskriminasi. Dipilih yang pendapatnya bisa diatur. atau setidaknya, sejalan dengan kepentingan agenda mereka.
Masalahnya, esensi jurnalisme affirmative ini bisa hanya sekadar berdasar prasangka atau asumsi belaka. Akurasi tak dipentingkan. Kelengkapan obyektifnya tak dikompliti. Apalagi konfirmasi dan iktikad memverifikasi. Tak merasa perlu membedakan mana naskah yang secara jurnalistik-editorial telah memenuhi kriteria, terhadap yang baru sekadar konsep/bahan kasar pemberitaan. Yang penting isu yang ditebar bisa cepat tersebar. Lekas berdampak. Dan efeknya nampol.
Ini mirip-mirip dengan model Jurnalisme Pernyataan (statement journalism). Yang cenderung subyektif, spekulatif, dan tidak netral. Karakternya apriori dan prejudice. Peran wartawan, penyiar, bahkan Media, secara sadar direduksi cuma sebagai ‘penyalur’ pesan yang sudah difabrikasi.
Tak ada iktikad menyediakan jawaban. Pun tidak menyajikan bukti yang cukup. Apalagi mengujinya. Berpinsip pokok-nya kabar bisa cepat beredar, menyebar, menular, menjalar, bahkan membakar/memprovokasi audiens.
Model statement journalism ini lumrah dijumpai dalam reportase siaran langsung atau di program acara live talkshow.
Karena dilakukan secara live, jurnalisme model begini bisa berbahaya, bahkan fatal. Karena tuntutan segalanya musti serba tergesa, menyebabkan tak tersedia ‘ruang’ untuk mengantisipasi kesalahan dan melakukan editing. Atau menyortir dan menyensor konten. Apalagi berkesempatan melakukan prosedur cek-ricek ‘kebenaran’ yang terlanjur disebar-luaskan. Padahal statement yang tersiar ke publik, bisa saja, sebenarnya cuma sekadar gossip, rumor, desas-desus serta asumsi. Bisa juga berupa tuduhan, sindiran, prasangka bahkan penghinaan. Yang bisa bersifat berat-sebelah, dan partisan. Efeknya propaganda, dan agitasi. Bahkan berefek memprovokasi dan character assasination.
Hati-hati juga terhadap Media yang menjalankan Jurnalisme (pesanan para kaum) Kepentingan (interest/agenda journalism). Yakni yang diongkosi kepentingan tertentu, demi membela agenda kelompok tertentu. Termasuk dengan cara menunggangi euforia citizen journalist. Atau memperalat oknum mantan wartawan bayaran. Pun memanfaatkan tren penggunaan Social Media secara genit dan lebay. Oleh para celebtwit, opinion maker, atau buzzer bayaran. Yang kontennya dikemas menyerupai atau ‘menyaru’ sebagai Berita betulan. Seakan-akan produk tulen dari newsroom-nya mainstream Media.
Kenapa musti hati-hati? Karena di era flatworld sekarang, ketika satu-sama-lain individu audiens saling connected 24 Hour, maka audiens justru makin rentan menjadi korban jurnalisme jenis beginian. Karena di zaman gaduh dan ketika kebenaran menjadi relatif, audiens cenderung hanya mau mendengar yang mereka ingin dengar. Pun hanya memilih yang sesuai minat. Padahal, belum tentu itu tepat.
Di saat seperti itulah, aksi provokasi menemukan jalan yang makin mudah. Bisa langsung merangsek masuk ke ruang-ruang privacy audiens. Kapan pun, di mana pun, melalui alat apa pun. Nyaris tanpa sekat, sulit ditapis, tak mempan diblokir. Fenomena maraknya black campaign serta agenda setting yang bertujuan membunuh karakter Capres-Cawapres tertentu misalnya, dijalankan dengan metode ini.
Maka sikap kritis, skeptis dan terampil memverifikasi, adalah musti. Begitu pula pengalaman dan keterampilan pengamatan, serta kemampuan menyimpulkan, harus terus diasah.
Ukuran Pembeda Media: Kaidah, Tatakrama, Etika Media
Ada ungkapan, Media yang kredibel turut dibangun oleh sikap masyarakat yang empirik (mau repot membandingkan dan mengejar bukti kebenaran fungsional). Pun bersikap skeptis secara aktif. Dan berdisiplin memverifikasi informasi apa pun yang dimiliki. Dalam logika ini, ketika audiens makin matang bermedia, maka ‘ukuran’ yang membedakan kadar kredibilitas satu dan lain Media, tak lain adalah aspek Etika, Tata-Krama dan Kaidah Jurnalistik yang dijalankannya.
Karena itulah, walau bukan praktisi Media, masyarakat awam dianjurkan perlu sadar dan paham Kaidah/Prinsip Jurnalistik. Setidaknya supaya masyarakat mengerti apa hak dan kewajiban terhadap pemberitaan Media, yang berpotensi bisa merugikan kepentingan publik.
Begitu pun, mengerti bagaimana Kode Etik Jurnalistik, juga sangat berfaedah bagi publik luas. Setidaknya, agar publik tak gampang terprovokasi ajakan main hakim sendiri, hanya karena merasa dirugikan atau tak terima oleh pemberitaan Media.
Maka, audiens yang cerdas, butuh berlatih agar terampil ber-skeptical knowing. Yakni cara baru untuk tahu dan bisa menguji sesuatu. Pun harus memiliki kemampuan tradecraft. Yakni ketrampilan untuk bisa menilai suatu keadaan, dengan berbasis pengalaman dan skeptisisme yang aktif.
Cuma dengan terampil ber-sceptical knowing dan berkemampuan tradecraft, audiens bisa terbiasa untuk menimbang berbagai informasi dari banyak sumber berbeda, dengan obyektif. Dengan cara itu, bisa diperoleh ‘Kebenaran fungsional’ sebagai acuannya. Sehingga audiens berpeluang survive dari keadaan yang menjadikannya korban eksploitasi dari praktik penyesatan informasi.
Jurnalisme bukan Ilmu Pasti
Tapi, mereportase kejadian/peristiwa, memang tak bisa dilakukan dengan menggunakan rumus eksakta. Karena Jurnalisme bukan disiplin Ilmu Pasti. Yang dituntut bisa menjamin bahwa hasil reportase harus akurat dan presisi.
Padahal, bagaimana pun, dalam pemberitaan Media, aspek subyektivitas rasa, roso, dan rosa, tak bisa terhindarkan. Sebab, jurnalisme bukan sekadar urusan rasio. Tapi juga menyangkut ‘kenyamanan’ rohani. Jurnalisme juga bukan sekadar mengorbankan apa saja, asal supaya ‘Kebenaran’ bisa diketahui dan terungkap kepada publik. Bukan cuma itu. Tapi Jurnalisme juga tentang Tanda, Penanda, Pertanda dari ukuran hati nurani si wartawan peliputnya.
Kebenaran dalam Jurnalisme sendiri, ‘dibentuk’ oleh perjalanan waktu. Makna yang diberitakan Media, dari fase ‘memahami’ hingga sampai ke tahapan ‘memastikan’, adalah proses perjalanan yang tak sekejap.
‘Kebenaran’ dari pemberitaan Media pun, bukan entitas yang seketika ‘utuh’. Karena untuk mendapatkannya tak bisa diperoleh secara instan. Melainkan diupayakan helai demi helai. Dirumuskan lapis demi lapis.
‘Kebenaran’ versi Media, juga bukan sesuatu nilai yang dipertahankan selama-lamanya, sebagai kemutlakan yang banal. ‘Fakta’ dan ‘Kebenaran’, sejatinya hanya jelmaan dari ‘kebenaran fungsional’. Adalah rumusan logis dari sikap dan pemikiran yang berorientasi fakta empirik, yang bersifat ‘terbuka’ pada perbaikan dan perubahan. Artinya, ‘kebenarannya’ hanya relevan dalam kurun waktu tertentu. Ketika dalam perjalanan waktu, ditemukan novum atau fakta kebenaran baru, bisa saja ‘Kebenaran fungsional’ tadi, direvisi secara literal.
Yang pasti, di tengah banjir informasi, ketika Jurnalisme dianggap kalah, karena berselingkuh dengan kepentingan pemodal, semua tahapan yang sudah dikupas di link ini menjadi penting dipelajari, dipahami dan dilaksanakan. Karena, di tengah campur aduk berita faktual dan abal-abal, bagaimana pun, tetap ada bedanya antara kualitas bermedia dari audiens yang memahami dengan cuma mengandalkan yang didengar, diamati dan diasumsikan. Dibanding audiens yang memiliki kematangan bermedia, dan bernyali menyimpulkan setelah membuktikan sendiri.
Sebagai pilar ke-4 Demokrasi, kerja Media harus tetap tak boleh seenaknya saja. Karena dengan Media bersikap apriori, prejudice dan diskriminatif, Demokrasi tak akan pernah bisa berjalan dengan tegak. Jurnalisme sejati bukan yang mengklaim tahu semua hal. Pun bukan yang mengklaim semua yang disampaikannya adalah kebenaran mutlak. Justru, esensi jurnalisme adalah bernyali untuk selalu menguji empirisme, aktif ber-skeptis dan tetap bersikap rendah hati.
Bagi audiens, kini saatnya untuk berlajar bersikap skeptis, kritis. Tak mudah percaya begitu saja, bahkan termasuk kepada institusi/lembaga Media bernama besar, yang sebelumnya dikenal kredibel dan bereputasi. Mari sama-sama kita belajar bermedia dengan lebih cerdas. Karena di sana, kebenaran dipertaruhkan. \kris moerwanto
Sumber ilustrasi: http://bit.ly/1jDAZrm
Tinggalkan komentar