Sumber ilustrasi: http://bit.ly/UpKtKZ
Pers dan Media yang sehat serta beriktikad baik, dibangun dengan keterlibatan aktif audiens yang bersikap empirik. Yang bernyali dan berdisiplin melakukan verifikasi dan konfirmasi. Atas apa pun informasi yang mereka konsumsi dan dapatkan.”
Di posting sebelumnya kita telah belajar bagaimana trik mengenali bohong-tidaknya pesan Media. Lantas, di posting selanjutnya, kita juga telah belajar mengidentifikasi dan membedakan mana Media yang beritanya faktual versus yang abal-abal. Caranya, yakni dengan mencermati teknik jurnalistiknya. Maka, di bagian ketiga dari rangkaian tulisan Jurnalisme Media ini, kita akan uraikan peran narasumber, dalam ikut membangun konstruksi Kebenaran dari kejadian, yang diberitakan Media.
Mengapa peran Narasumber sangat menentukan dalam membantu audiens memahami Kebenaran suatu kejadian? Karena Media, pun wartawan atau pewawancara, tak boleh memposisikan dirinya lebih paham daripada narasumbernya. Pun, Media, wartawan atau pewawancara, juga tak boleh diasumsikan pasti tahu segala-galanya, tentang suatu kejadian.
Bisa saja, Kebenaran kejadian bukanlah seperti yang kita kira memang benar-benar terjadi. Bisa saja, versi Kebenaran yang kita kira benar-benar adalah kebenaran, adalah profuk fabrikasi. Disebabkan ada satu atau beberapa narasumber, menolak berpendapat. Atau karena Media secara apriori mendiskriminasi si narasumber tertentu, dengan sengaja tak mewawancarainya. Sehingga aspirasi dan versi pendapatnya tak sempat termedia. Padahal, pendapatnya penting, menentukan, dan substansinya berbeda, dibanding cerita yang disampaikan sumber-sumber lainnya.
Akibat hal tersebut, Kebenaran kejadian pun, lantas hanya bersifat sepihak. Kebenaran yang disebar-luaskan Media, adalah versi yang sejalan agenda atau motif tertentu. Dengan mengacu versi cerita dari sumber, yang kebetulan pendapatnya sejalan kepentingan Media tersebut.
Jika tak cermat dan kritis terhadap kejadian begini, sulit bagi audiens membedakan Berita dan Propaganda. Fakta dan pesan rekayasa sulit dibedakan kebenarannya. Karena sulit menemukan bagian cerita mana yang belum lengkap? Apa yang dimanipulasi? Seberapa parah distorsinya? Apa kekurangannya? Apa yang harusnya ditambahkan?
Siapa dan Apa sumber Beritanya? Kenapa Audiens Harus Percaya?
Peran Media, wartawan atau pewawancara, idealnya adalah membantu audiens, bisa mengakses dan mengeksplorasi kapasitas si narasumber. Agar audiens bisa secara obyektif menaksir Kebenaran dari suatu kejadian. Artinya, Media tak boleh membiarkan dirinya menjadi panggung pembenaran. Yang bisa memberi peluang bagi narasumber untuk memperalat Media. Demi memanipulasi kebenaran suatu kejadian. Dengan versi cerita berdasar selera dan kepentingannya sendiri.
Ini terkait dengan prinsip pertama dari elemen Jurnalisme. Yang mewajibkan wartawan untuk berpihak hanya kepada, dan harus mengupayakan pengejaran, atas ‘Kebenaran’.
Konsekuensinya, Media tak boleh mereduksi fungsi, peran dan tugas jurnalistiknya. Misalnya, sekadar sebagai ‘penyalur’ pernyataan: Menerbitkan hasil wawancara, dan sekadar ‘menyalurkan’ apa pun yang dikatakan narasumber. Seakan-akan sebagai pesan yang telah terverifikasi dan terkonfirmasi.
Pun Media tak boleh sekadar menerbitkan dan menyebarluaskan pesan yang dilabelinya sebagai ‘Fakta’. Karena bisa saja ‘Fakta’ dimaksud, adalah persepsi subyektif. Hanya ‘Kebenaran’ yang dianut sekelompok orang.
Kini, di tengah audiens yang kian kritis, ‘klaim’ seperti itu, tak cukup lagi. Motif dan modus penyebaran pesan, cara pengemasan dan efek pengkomunikasian (yang seolah-olah adalah) ‘Fakta’ tadi, akan dan harus dikritisi oleh audiens
Maka, kriteria Media yang ‘bisa dipercaya’ oleh audiens, tak lagi bisa mengacu pada ‘nama besar’-nya saja. Tak boleh sekadar mengandalkan reputasi, kompetensi dan kredibilitas wartawan/penulisnya saja. Tak bisa.
Audiens justru harus bernyali melacak Kebenaran pesan Media, hingga ke aspek logis-tidaknya analisis yang disampaikan narasumber Media tersebut. Juga dengan cara menyisir, ada tidak-nya bukti kuat, yang mendukung argumen si narasumber, ketika menganalisis suatu topik bahasan yang disampaikan Media.
Itu berarti, Media yang ‘bisa dipercaya’, harus bisa menghadirkan narasumber yang juga ‘terpercaya’ di mata audiens. Yakni yang bisa membantu memudahkan audiens, untuk memilah dan memilih mana bagian pesan/Berita yang ‘bisa dipercaya’, dan mana yang ‘sampah’ belaka. Yaitu narasumber yang memenuhi kriteria bisa membantu audiens, untuk membedakan mana klaim subyektif, dan mana fakta kejadian sebenarnya.
Menurut jenis dan implikasinya, berita dan narasumber berita bisa dibedakan seperti berikut:
Berita tanpa sumber berita: Dalam kejadian liputan langsung (live), Berita bisa dihasilkan wartawan, tanpa perlu ada narasumber, yang harus diwawancarai pendapatnya. Itu bisa terjadi, pada pemberitaan mengenai Pidato Kenegaraan Presiden, misalnya. Atau liputan Acara Kenegaraan dan peringatan Hari Besar lain misalnya. Dalam hal ini, Presiden dan aktivitas yang dilakukan unsur terkait di sekitarnya, diposisikan seakan-akan adalah sumber Berita yang diliput wartawan.
Kebenaran dan fakta dari peristiwa, sepenuhnya mengandalkan kepekaan, dan keterampilan si wartawan, mereportase rangkaian runtut peristiwa di tempat kejadian. Kepercayaan publik atas Media, dipengaruhi becus-tidaknya reporter peliputnya.
Berita dengan sumber berita si Wartawan/Reporter: Dalam hal ini, Wartawan, atau Reporter yang menjadi narasumber, harus terbukti memang benar-benar terjun langsung melakukan liputan secara live. Sekaligus berperan sebagai saksi peristiwa. Langsung di tempat kejadian perkara, yang sedang berlangsung.
Dengan kata lain, ini adalah reportase pandangan mata oleh si wartawan. Dengan si reporter hadir secara fisik ketika peristiwa berlangsung, diharapkan audiens bisa mendapatkan detil rincian situasi dan kondisi, di tempat kejadian.
Peter Arnett, wartawan kondang CNN yang melakukan peliputan langsung dari medan perang di Irak, adalah contoh fenomenalnya. Semboyannya yang terkenal itu: Liputan langsung dari lokasi, di tempat ketika Sejarah sedang dibuat.
Berita dengan sumber berita si Wartawan yang sekaligus adalah Pakar di bidang tertentu: Sebagai reporter yang sekaligus menjadi sumber informasi rujukan, maka si Wartawan kategori ini, harus terbukti cukup memiliki legitimasi otoritatif. Pun harus terbukti memiliki pengetahuan yang mendalam sekaligus meluas, atas bidang disiplin keilmuan atau aspek liputan tertentu.
Tanpa terbukti memenuhi kriteria tadi, sulit produk reportasenya dianggap layak berita dan terpercaya.
Berita yang dibuat Hendro Subroto, seorang wartawan spesialis untuk liputan di kawasan berkonflik, adalah contoh faktualnya. Rangkaian berita dan cerita ini, kemudian dituangkannya dalam buku Perjalanan Seorang Wartawan Perang.
Berita dengan Sumber Pakar atau Analis: Ketika yang jadi sumber adalah Analis atau Pakar, maka yang disampaikannya adalah produk analisis. Dan yang disebut analisis, adalah bukan pesan cerita tentang fakta dan atau Berita kejadian. Bahkan yang disampaikan analis, cenderung adalah opini yang bersifat subyektif. Runtutannya mungkin asumtif. Bahkan bisa sekadar spekulatif.
Pakar/Analis juga tak dijamin bisa bersuara netral. Atau dijamin pasti tak punya kepentingan atas kejadian yang dibahasnya. Jangan-jangan, ia malah sedang berupaya ‘menyalahgunakan’ jurnalisme Media. Memanipulasi fakta, dan membangun reputasi. Sambil mendikreditkan pihak lain. Sekaligus ‘cuci-tangan’ dari persoalan.
Akibatnya, dengan narasumber seperti ini, akan sulit bagi audiens dan pirsawan, berharap bisa mendapat jawaban konkret tentang penyebab kejadian, misalnya. Atau untuk tahu, bagaimana rincian kejadian sebenarnya. Pun paham latar belakangan kejadian yang dibahas Media.
Berita dengan sumber lebih dari satu orang: Dalam rangka ingin memberi kesan berimbang dan netral, kerap Media harus menghadirkan narasumber lebih dari seorang. Bisa berjumlah tiga, hingga empat orang, bahkan lebih. Tapi, salah satunya, biasanya diposisikan sebagai pengamat. Dan diasumsikan posisinya netral. Berjarak dari kepentingan.
Tapi banyaknya jumlah narasumber, tak otomatis bikin mutu Kebenaran Berita menjadi lebih dijamin. Apalagi jika narasumber yang dipilih bukan terkategori ‘Saksi’, atau yang ‘keterkaitannya’ ada di lingkaran pertama dari kejadian. Sehingga pengetahuannya atas detil rincian kejadian tidak genuine. Karena cuma terinformasikan dari briefing oleh pihak lain.
Justru, ketika sejumlah narasumber –termasuk yang ‘berperan’ sebagai pengamat tadi— ternyata menyampaikan narasi atau argumentasi yang senada, atas isu/topik yang dibahas. Atau jika persepsi sejumlah narasumber ini sama-sama mengarah/menyerang ke narasumber lain yang dihadirkan. Maka audiens layak mulai skeptis. Jangan-jangan di balik wawancara tersebut sudah ada agenda setting. Jangan-jangan, jurnalisme affirmative dan penggiringan opini publik, sedang dijalankan. Misalnya untuk mendiskreditkan. Memanipulasi bukti. Atau memelintir kejadian. Waspadalah.
Berita dengan sumber anonym: Kadang, demi alasan melindungi narasumber, maka identitas sumber berita sengaja disembunyikan oleh Media. Jika ini terjadi, audiens harus mengkritisinya. Misalnya dengan mempertanyakan: Kenapa Media menganggap si narasumber anonym ini kredibel, dan layak dijadikan narasumber? Tidak adakah cara lain bagi Media, untuk mendapatkan fakta/Kebenaran yang dicarinya, selain hanya dengan ‘mengandalkan si narasumber gelap ini?
Sepenting dan sedalam apa sih kapasitas dan pemahaman si narasumber terhadap konteks dan substansi kejadian? Sebesar apa risiko yang menjadi alasan sehingga identitasnya harus disembunyikan? Apakah yang disampaikan narasumber adalah benar-benar faktual? Atau hanya opini dan prasangka subyektif? Apa alasan untuk kita bisa menganggap si narasumber yang gelap ini kredibel dan kesaksiannya layak dipercaya?
Sebaiknya audiens memang tak serta merta percaya begitu saja, terhadap yang dikatakan narasumber beridentitas gelap. Kecuali, ada bukti atau pernyataan dari sumber lain ‘yang lebih jelas’. Yang kebenarannya mendukung, atas apa yang dikatakan si narasumber anonym tadi. Tanpa itu, jangan gampang percaya begitu saja.
Memahami Kejadian versus Mempercayai Fakta
Terkait ini, audiens juga harus ekstra mewaspadai program-program acara percakapan/wawancara bersifat live.
Narasumber yang paham bahwa siaran live selalu dibatasi durasi, akan memanfaatkan porsi yang dialokasikan pewawancara untuknya, dengan berbicara sepanjang dan selebar-lebarnya. Tujuannya, demi bisa menguasai mayoritas porsi durasi. Sehingga narasumber lain (yang pendapatnya berseberangan), sampai tak kebagian kesempatan berargumen. Dengan modus begini, jika audiens tak waspada, ketika program acara wawancara harus disudahi (karena durasinya habis), akan bisa muncul kesimpulan yang keliru (baca: sudah dimanipulasi).
Harus diakui, siapa pun narasumbernya, semua sama-sama punya kepentingan subyektif yang ingin disuarakan. Semua, sama-sama berpeluang menyampaikan informasi keliru, bahkan sesat. Artinya, sesungguhnya tak ada narasumber Media, yang tak punya motif untuk –sengaja atau tidak– mendistorsi pendapatnya. Tidak mungkin kita berharap, yang dikatakan narasumber, pasti tidak bias.
Tapi itu bukan berarti kita lantas tak perlu mempercayai apa pun yang narasumber katakan. Bagaimana pun, mengevaluasi, mengkritisi, dan memverifikasi yang dikatakan siapa pun narasumber Media, adalah musti. Karena, antara memahami pendapat dan mempercayai kebenaran kejadian, mungkin saja, adalah dua hal yang berbeda samasekali. Maka, ketika di lansekap yang kian gaduh, esensi ‘Kebenaran’ kian dipertaruhkan, saatnya audiens berlatih terampil bermedia secara makin kritis. Mari. \kris moerwanto
Tinggalkan komentar